8. Siapa dia?

1K 57 2
                                    

"Kuat kan diri mu sendiri. Jangan terlalu bergantung pada orang lain."
.
.
.
.
🦋🦋

Rasa sakit mu, milik diri mu sendiri. Orang lain tidak akan bisa merasakan apa yang sebenarnya. Terkadang ada sosok yang merasa dirinya paling banyak luka padahal ialah pembuatannya.

Jangan munafik. Kamu hanya kasihan, bukan merasakan.

"Dek, Kakak cuma minta kamu nurut kata dokter aja loh. Kenapa susah banget? Itu juga demi kamu sendiri."

"Kenapa?"

Mata kelam yang pada akhirnya berani menatap. Bibirnya pun kini berani bicara. Sorotnya menyimpan segala hal yang sulit dikendalikan.

"Kakak khawatir, gak mau kamu sakit lagi." Arka menatap sendu adiknya. Sungguh, ia tak ingin sosok itu kembali pada saat ia berjuang dulu.

"Aku udah sakit, gak usah khawatir."

Balasan yang membuat Arka terdiam. Ia selalu bertanya, mengapa Luka sedingin ini. Selalu acuh pada apapun, bahkan kondisinya sendiri. Namun melihat sikap Daddy nya menjadi jawaban. Pria yang begitu dingin, tetapi masih memiliki hati.

"Kakak minta maaf."

"Buat?" Masih dengan raut yang tenang. Namun menahan dirinya untuk tidak mengatakan apa yang ada. Ia lelah.

"Maaf kemarin-kemarin Kakak sibuk, gak ada waktu buat kamu. Daddy juga gak bisa pulang. Kakak tau kamu kesepian, maaf."

Mata gelap yang semakin kelap. Jurang kematian yang siap melahap habis jiwanya. "Dari kecil aku terbiasa sendiri, gak usah khawatir. Aku juga sadar kalau ngerepotin."

"Gak gitu Dek." Balas Arka cepat. Semakin merasa bersalah dirinya. "Kita benaran sibuk, maaf. Kamu gak ngerepotin, kita yang nggak bisa ngatur waktu."

"Arka."

"Kakak." Tekan Arka mengingatkan.

Luka menghela nafas. "Aku gak peduli sesibuk apa kalian. Aku cuma mau sendiri, lebih nyaman."

"Jangan egois Dek."

Maniknya terpejam perlahan. Menarik nafas dengan tenang. Mengatur detaknya agar stabil. Walau diam-diam tangannya terkepal sesaat.

Egois? Siapa yang terluka disini sebenarnya? Mereka yang terus mendesak tanpa rasa atau dirinya yang mencoba lari dari lukanya.

"Kakak mau apa?" Suaranya tertahan. Menatap dengan hampa sosok yang lebih tinggi didepannya.

"Ayo pulang." Balas Arka menatap memohon. Ia berharap Luka mau pulang. Karena dirumah lebih baik dari pada pemuda itu sendirian.

"Apa yang aku dapat?"

Arka terdiam, menatap tidak percaya. "A-apa?" Ia tidak mengerti.

"Apa yang aku dapat setelah pulang?" Luka kembali bertanya. Menatap semakin pekat. "Gak ada kan? Aku masih sendiri disana. Paling cuma maid atau bodyguard. Selebihnya aku tetap sendiri. Sama aja aku tinggal disini."

"Kamu mau apa? Kakak janji gak sibuk lagi. Bahkan kalau kamu mau, Kakak bisa keluar OSIS, atau organisasi lain. Gak akan ikut olimpiade lagi. Nemenin kamu aja."

"Aku gak mau jadi penghambat kesuksesan orang lain." Balas Luka tenang. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Arka.

"Kakak gak bilang kamu penghambat. Kalau kamu maunya gitu kakak lakuin." Sungguh, Arka tidak mengerti. Mengapa begitu sulit membujuk Luka. Ia sudah sadar salahnya.

"Terserah." Luka lelah, rasanya sia-sia ia bicara. Arka tidak akan mengerti apa maunya. Pemuda itu selalu mengatur segalanya sesuai apa yang dia inginkan.

SILENTIUM || End✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang