4. Lukana

1.5K 77 1
                                    

"Sosok dengan ribuan lara yang dirinya peluk sendiri."
.
.
.
.
🦋🦋

Orang tidak akan pernah sadar siapa dirinya. Dari mana asalnya. Segala hal yang menjadi awal baginya penuh luka.

Di katakan memiliki keluarga yang terpandang. Sangat berpengaruh dan cukup disegani. Keluarga yang cukup sulit untuk diruntuhkan.

Namun, ia runtuh di dalamnya sendirian. Tanpa mereka ketahui. Ia bagai sebuah bayangan. Hilang pun tak akan ada yang datang.

Sejak kecil ia disembunyikan. Dengan alasan yang cukup login baginya sendiri. Namun, bukan berati ia harus dibiarkan terus sendiri. Disembunyikan? Atau diasingkan?

Tidak seperti saudaranya yang hidup begitu bebas. Bisa melakukan banyak hal bersama keluarga tanpa takut orang lain bertanya dengan ragu siapa dirinya.

Segala yang dirinya simpan. Mereka tidak pernah mengerti. Pertanyaan hanya sebuah peduli tanpa hati.

"Katanya tadi gapapa, kenapa sekarang demamnya naik!?"

Kamar asrama bernuansa abu-abu yang nampak ramai. Lebih tepatnya kepanikan oleh satu orang.

"Ck, diam!" Raden jengah. Bukannya membantu Arka malah semakin membuat runyam.

Pemuda itu sangat khawatir. Berujung panik sendiri dan marah-marah tidak jelas. Sedangkan Rafael hanya bungkam dengan gerakan cepat mengambil sesuatu yang Raden butuhkan.

Saat ini tengah malam. Demam Luka yang disore hari tidak parah. Namun kini semakin naik. Tubuhnya menggigil, ronanya semakin pucat. Kening terus berkerut menahan lara.

Mereka sudah memberikan obat dan mengompresnya. Namun tak kunjung turun juga. Jam tangan digital ditangan pemuda itu sejak tadi terus menyala.

"Dek, maafin Kakak. Hukum Kakak aja, jangan gini." Digenggam satu tangan pemuda itu dengan erat. Mata tajam yang menyorot penuh khawatir.

Rafael menyesal tindakannya dikelas tadi. Padahal dia tau, Luka sangat mudah sakit. Apalagi bila tiba-tiba merasakan beban yang berat.

Mereka mengerti Luka sangat khawatir dengan keadaan sekolahnya. Dia memang sangat tak ingin siapapun tau siapa dirinya. Berujung ia akan semakin banyak pikiran.

"Dokter.. dada Kana sakit.."

Bibir pucatnya berdesis. Semakin bergerak gelisah. Kalimat lirihnya didengar semua orang. Tangan kirinya pun bergerak menekan dadanya.

Racauan lirih berubah tangis. "Jantungnya marah.. padahal Kana jadi anak baik."

"Kita kerumah sakit!" Raden bergerak cepat menggendong tubuh itu.

Arka tak mampu berkata. Mengikuti dalam diam. Dia masih tidak berani melihat keadaan Luka yang seperti ini. Tak tega.

Rafael yang mengambil kemudi. Raden dibelakang bersama Luka. Berkendara dengan cepat. Beruntung ini tengah malam. Jalanan sangat sepi.

.
.
.

"Pulang sekarang! Atau Dad bakal tau akibatnya!"

SILENTIUM || End✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang