"Hati yang begitu menyakitkan. Bukan tanpa rasa, hanya sudah lelah dengan semuanya."
.
.
.
.
🦋🦋Pagi dengan langit gelap siap menumpahkan air hujan. Udara pun kian dingin menusuk kulit. Membuat malas kegiatan dipagi hari.
Baginya, ini cukup menyiksa. Dadanya terasa sesak untuk bernafas. Hidung dan pipinya sudah memerah.
"Dek, pakai minyak angin dulu. Biar anget badannya."
Ia yang ingin mengenakan seragam sekolahnya harus terhenti. Sang Kakak yang sudah siap dengan seragam sekolah yang sama. Namun ditambah almamater dengan bed OSIS yang mencolok. Pemuda itu datang membawa botol kecil berwarna hijau yang beraroma terapi.
Arka mengambil seragam Luka untuk disingkirkan dahulu. Tubuh kecil dengan kulit putih, seputih susu. Namun satu bagian yang selalu membuat dirinya menahan nafas.
Tanpa bicara ia menuangkan minyak angin ke tangannya. Lalu membaluri punggung hingga perut. Tangannya terhenti saat menyentuh dada.
"Sakit gak?" Tanya Arka menatap dalam. Luka hanya menggeleng, menatap bagian dadanya. Bekas luka hampir sepanjang dada.
Bagi Arka itu sangat menyakitkan. Membayangkan bagaimana perjuangan Luka dulu. Namun bagi adiknya semua masa lalu. Entahlah, anak itu selalu diam menyimpan semuanya.
Tak ingin larut, Arka menyudahi. Lalu membantu mengenakan seragamnya. Tak lupa mengambil jaket yang tebal. Keduanya lalu segera sarapan bersama.
Hanya ada keduanya. Semalam Raden dan Rafael tidak menginap. Arka yang masih khawatir memilih menginap saja.
"Kakak berangkat dulu. Kalau ada apa-apa telepon. Ngerti?"
Luka mengangguk saja. Sibuk memeriksa keperluan sekolahnya. Termasuk obat yang tidak pernah lupa dirinya bawa.
"Kana."
"Iya, aku ngerti." Balasnya menatap tenang. Agar puas Kakaknya itu.
Surainya dibelai lembut. Setelahnya sosok itu pergi. Meninggalkan dirinya sendiri. Menatap ponselnya diatas meja. Tanpa benda itu ia pergi keluar kamarnya.
.
.
.Mata kelam dibalik bingkai kacamata itu menatap tenang bangunan sekolahnya. Sesaat ia meremas tali tasnya. Menahan segala hal dalam dirinya.
'Tenang, gapapa. Jangan panik, Kana. Tenang.' batinnya.
Ia lalu melangkah menuju kelasnya. Sekolah yang masih lumayan sepi. Apalagi keadaan akan turun hujan dipastikan banyak yang akan terlambat. Setahunya, jam masuk akan lebih lama nantinya.
Luka pikir dirinya datang paling awal. Namun sudah ada beberapa teman kelasnya. Jelas kedatangan dirinya membuat mereka menatap.
"Hallo Luka, kamu udah sembuh?" Gadis dengan hijab putih yang tersenyum manis menyambutnya. Auranya sangat lembut, namanya Putri seingatnya.
"Udah." Balas Luka pelan. Melirik beberapa anak yang juga ingin bersuara tapi enggan.
"Alhamdulillah."
Gadis itu lalu pergi ketempat duduknya. Membiarkan dirinya menatap keluar jendela dengan diam. Acuh dengan sekitarnya. Walau ia mendengar bisikan tentang dirinya.
Waktu terus berjalan. Kelas mulai ramai. Ia masih setia diam ditempatnya. Hingga Kevin datang. Terkejut dan senang melihat kehadiran dirinya.
"Luk, apa kabar? Udah sembuh?" Ia duduk dengan menghadap kebelakang. Tersenyum cerah melihat temannya itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/367330497-288-k521605.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SILENTIUM || End✓
Teen FictionLuka, seperti namanya. Ia adalah simbol dari kesakitan yang tak terlihat, menyimpan begitu banyak luka yang tak pernah bisa diungkapkan. Tidak ada yang tahu seberapa dalam lara nya, seberapa berat langkahnya menjalani hidup. "Mereka yang mengabaikan...