4

472 32 0
                                    

...

Setelah memeriksa kegiatan di gudang, Mingyu tak langsung memilik kembali ke gedung kantor. Pria itu berbelok di sebuah ruangan di belakang kantor—tak jauh dari bangunan kantin. Berdiri di depan pintu kacanya beberapa detik, dilihatnya sahabatnya tengah bersantai di dalam ruangan khusus untuk merokok sembari sibuk dengan handphone nya—mungkin memeriksa email. Seokmin memang tak pernah betah berada di dalam ruangan. Mingyu bisa menebak, Seokmin akan banyak menghabiskan waktu di sana bahkan jika jam kerja sudah menunjukkan saatnya pulang.

Mingyu mengetuk pintu kaca dari luar. Dua ketukan, dan Seokmin langusng mendongak—menyadari keberadaan Mingyu. Pria itu mematikan bara rokoknya dan tersenyum.

"Lo tau slogan rokok sekarang nggak?"

"Merokok membunuhmu, itu maksud lo?" Seokmin keluar dari smoking room. Mingyu mengangguk enteng sambil berbalik, mengajak Seokmin berlajan-jalan.

"Lo ngerti kalau kepala gue capek ngurusin email-email dari orang-orang. Anjir nih kerjaan lama-lama bikin gue pusing. Gue harap dikirimnya lo ke sini lo bisa bantu-bantu kerjaan gue,"

"In your dream. Lo pikir gue ke sini buat liburan? Baru sehari dan gue udah tau apa aja PR gue buat tiga bulan kedepan," Seokmin tertawa dengan kalimat Mingyu.

Angin sore mengalir semilir. Tak ada sinar matahari yang terik lagi. Sudah hampir jam lima sore. Bayangan-bayangan gudang belakang yang tinggi dan beberapa pepohonan hijau yang sengaja ditanam mengelilingi halaman kantor yang memisahkan area kantor dengan gudang membuat jalanan pedestrian yang di lalui Mingyu dan Seokmin menjadi teduh.

"Jadi gimana?"

Kening Mingyu mengkerut, masih mencoba memikirkan maksud pertanyaan Seokmin. Seokmin sendiri sibuk memandangi langit sesekali, pada arakan awan yang tak lagi seputih kapas—mulai pudar oleh warna sinar matahari yang berubah lembayung.

"Gimana apanya nyet?" Mingyu menghela nafas.

"Perasaan lo. Balik ke Seoul," Seokmin menoleh perlahan. "Tiga bulan. Nggak bakal masalah buat lo kan?"

Pria itu mengangkat kedua bahunya, pertanda ia tak yakin untuk mengiyakan perkataan Seokmin berusan. "Nggak tau gue, Seok. Gue nggak suka tinggal lagi di sini,"

"Banyak kerjaan yang harus lo kerjain. Tenggelemin aja diri di tumpukan berkas yang mesti lo selesaiin. Waktu jalannya cepet, Gyu. Buktinya, tanpa kerasa lo udah bertahun-tahun ninggalin Seoul,"

Seokmin tertawa mendengarnya. "Padahal gue ada di sini. Nggak cukup apa gue bikin hari lo cerah selama tiga bulan ke depan? New York pasti lebih ngebosenin,"

"Njing? Lo ngomong seolah kita pasangan,"

Tawa Seokmin masih mengudara. "Come on. Pulang kerja kita bisa keluar main biliar atau nge-gym. Maksud gue, itu udah ide bagus dari pada lo di rumah sama Hansol,"

"Lusa, gue mau bikin jadwal kunjungan ke Wonju. Lo mau ikut nggak?"

Seokmin menggeleng. "Lihat ntar deh, nggak janji. Kalau soal urusan kerjaan, gue udah kasih asmen paling bagus di sini trus lo masih mau komplain?"

"Wonwoo?"

"Yup, gimana? Lo berdua udah satu ruangan, kan?"

"Ya gitulah,"

"Gitu?" Seokmin mengerutkan keningnya. Langkah kakainya terhenti do dekat pos penjagaan yang berdekatan dengan assembly point belakang gedung. "Wonwoo gimana?"

"Apanya yang gimana sih maksud lo?"

"Ya pekerjaannya lah ege,"

Mingyu menghembuskan nafasnya keras. "Gue baru jadi atasannya belum ada sehari. Gue bari ngasih dia tugas. Kita lihat aja ntar gimana kerjaannya,"

Seokmin menepuk bahu Mingyu sambil tertawa. "Jangan keras-keras sama Wonwoo," Mingyu memutar bola matanya.

"Dia itu rajin. Manis. Gue ngaku, first impression lo berdua sama sekali nggak berkesan. Maksud gue, lo nggak suka berisik dan dia emang cukup bisa nyanyi—"

"Kayak orang gila," potong Mingyu.

"—ya, terserah lo mau bilang gimana. Tapi  buat urusan kerjaan dia lumayan tanggap. Mungkin nggak bisa dibandingin sama kecepatan lo, tapi gue yakin dia nggak bakal ngecawain lo, Gyu,"

"Lo terlalu muji dia, Seok. Lagian apa-apaan tadi? Dia manis?" Mingyu menyeringai.

"Ah, emangnya kenapa? First impression gue sama dia pertama kali lumayan manis,"

✎﹏﹏ତ

Setelah meetin bulanan, Seokmin dan beberapa manajer lain meninggalkan ruang meeting bersamaan. Siang ini, Seokmin ada rencana untuk makan siang di luar. Ia berniat mentraktir manajer-manajer yang sudah bekerja keras mempersiapkan salah satu proyek besar. Tapi langkah Seokmin berbelok, mengikuti seorang manajer lain ke ruangannya—mengambil handphone-nya.

Begitu pintu dibuka, beberapa karyawan yang tidak ke pantry terlihat sibuk memakan menu makan siang masing-masing. Sosok pria manis berambut ikal menarik perhatian Seokmin.

Dari belakang, tubuhnya terlihat cukup tinggi. Kakinya cukup jenjang. Rambutnya bergoyang pelan seiring tubuhnya yang masih berjinjit-jinjit untuk menuliskan beberapa coretan spidol di bagian atas papan flipchart. Satu hal yang paling membuat Seokmin tak bisa menahan senyumnya adalah sebuah papan kayu kecil yang menjadi pijakan kakinya.

Obrolan para karyawan terhenti saat manajer departemen mereka berdeham.

"Wonwoo?"

Pria yang di panggil itu menoleh cepat. Senyumnya luntur ketika ia menatap balik Seokmin yang masih betah memandanginya. Tubuh pria manis itu membeku ketika sadar sedang diperhatikan salah satu atasan dengan jabatan tinggi.

"Wonwoo, kenalkan ini Pak Seokmin. Pak, dia asisten saya yang sangat membantu saya dalam merancang konsep salah satu presentasi tadi,"

Oh, namanya Wonwoo.

Wonwoo buru-buru membuang irisan semangka yang tadi bersemayam di tangan kirinya. Pria manis itu segera berjalan cepat mendatangi Seokmin. Tangan pria manis itu langsung terulur. Seokmin masih tak bisa menahan senyumnya.

"Hai,"

✎﹏﹏ତ

"Banyak cewek cowok baik di Seoul. Misalnya Wonwoo. Gue denger dia masih single,"

Mingyu menghela nafas panjang.

"Atau jangan-jangan lo masih ngotot nepatin janji kuno itu? Ke siapa namanya? Siapa laki-laki yang pernah kecelakaan sama lo dulu itu?"

Air muka Mingyu berubah, I atak pernah senang membahasnya. Hal itu adalah alasan terbesar ia tak pernah senang kembali ke kota ini. Memori-memori dari kenangan lama—masa lalu—teringan kembali. Jalanan yang berhujan. Suara klakson. Benturan.

Suara kesakitan.

Juga sebuah janji.

Menyadari ekspresi Mingyu, Seokmin mengernyitkan keningnya. "Mingyu, jangan bilang kalau dia belum tau kalau lo nalik ke Seoul? Lo mau ngehindarin dia, ya?"

Mingyu bungkam.

"Lo belum ngabarin Minghao?"

...

Forgive and Forget || MinWonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang