...
"Apartemen kamu cukup berantakan,"
Wonwoo berjengit kaget ketika tiba-tiba Mingyu sudah ada di belakangnya. Pria itu melangkah tanpa jejak suara bak hantu. Di kantor juga begitu. Selalu saja tiba-tiba muncul dan membuatnya kaget.
Wonwoo tak mengacuhkan 'pujian' Mingyu. "Pak Mingyu sudah mau pulang?"
"Sepertinya gitu," Mingyu menjawab singkat. Ptia itu memandang seluruh penjuru dapur. Sebuah water heater menarik perhatiannya. "Kamu rebus air buat apa?"
Tangan Wonwoo meraba-raba isi sebuah almari gantung tempat persediaan gula, kopi dan sejenisnya. "Saya tadi mau buat cokelat panas buat Bapak," Wonwoo mengulum bibirnya. 'Dan harusnya nggak jadi karena lo mau pulang, kan?' batin Wonwoo.
"Boleh juga,"
Wonwoo menggigit lidahnya sendiri. Mingyu melangkah maju, berdiri di belakang Wonwoo dan mengulurkan tangannya. "Kaki kamu masih sakit buat jinjit?"
Mau tak mau, Wonwoo mengangguk.
Mingyu melongok ke dalam almari, ingin membuat apa ia tadi? Cokelat? Pria tinggi itu dengan mudah mengambilkan cocoa saset untuk Wonwoo.
"Terima kasih," gumam Wonwoo pelan.
"Kamu bisa buat sendiri, kan?"
"Ini cuma minuman saset pak, mudah," pria manis itu mempersiapkan sebuah mug putih. "Kecuali kalau Pak Mingyu minta dibuatkan masakan malam. Bakal sedikit lebih ribet,"
"Kamu bisa masak?"
"Bisa masak itu syarat mutlak dari ibu saya sebelum ngasih izin saya hidup sendirian," Wonwoo mengangkat bahu. "Tapi kayaknya, kalau adik Pak Mingyu bisa masak pun, Pak Mingyu nggak mungkin kasih izin buat hidup sendiri," ucap Wonwoo—menyindir atasannya itu dengan senyum puas. Yang disindir pun hanya tersenyum simpul.
Wonwoo melangkah pelan meraih water heater di dekatnya.
"Di bawah, seberang apartemen rasanya banyak orang jualan makanan,"
"Ramyeon, dakgangjeong atau tteokbokki," terang Wonwoo. "Tapi kalau weekend saya lebih suka belanja bahan masakan. Terus, hari Minggunya saja masak buat dimakan sampai senin,"
"Kamu makan sendiri?"
"Sama siapa lagi?"
Mingyu mendekat ke kulkas. Pria itu berjongkokbegitu pintu lemari es terbuka lebar. Wonwoo tak berbohong. Ada ikan, daging beku, juga sayur-sayur itu dibeli tidak lebih dari satu minggu lalu. Tanpa sadar, pria itu tersenyum.
"Kamu bisa masak apa? Masak sesuatu buat saya,"
Tangan Wonwoo yang hampir menuangkan air panas ke dalam cangkir langsung berhenti bergerak. Tunggu, ia tak salah dengar, kan?
"Tadi saya niat makan malam di luar sama Seokmin. Karena saya ngantar kamu pulang, kamu boleh ganti jasa saya dengan buat makan malam,"
Mata Wonwoo melebar. Dipandanginya atasannya itu dengann tatapan tak percaya. Jasa apa? Wonwoo tidak pernah memaksa untuk diantar pulang!
Mingyu melipat lengan kemejanya hingga batas siku, lalu melirik jam tangannya. Belum terlalu malam. Tangannya kemudia memilah-milah beberapa bahan di kulkas. Wonwoo kehabisan kata-kata saat melihat Mingyu menoleh dari balik pintu kulkas dengan bawang, belimbing sayur dan tomat segar di tangannya.
"Ayo.. saya bantu kamu siapkan bahan,"
Meski awalnya merasa sedikit keberatan, Wonwoo pun akhirnya bisa bernafas lega karena ternyata atasannya banyak membantu. Pria tinggi itu menanak nasi—meski menggunakan rice cooker—dan menyiapkan bahan-bahan untuk dipotong.
"Dagingnya gimana?"
Wonwoo mengangkat tutup panci. Asap harum dari uap masakan dalam panci sampai ke penciuman Mingyu. Pria itu tersenyum, merasakan sedikit getaran di dasar perutnya. Ia lapar.
Suara 'klik' terdengar dari rice cooker di atas meja di dekat pintu dapur.
"Nasinya matang," info Mingyu.
Wonwoo meraih sebuah saucer dan menyendok sedikit kuah sayur. Pria manis itu lalu menyodorkan saucer stainless steel itu pada Mingyu—meminta pria tinggi itu mencicipinya.
"Gimana?" bukannya apa-apa, tapi mengharapkan pujian itu wajar, kan?
"Lumayan," jawab Mingyu enteng. Sensasi asam dan hangat dari sayur daging berkuah sam itu membuat Mingyu semakin lapar. Lelaki itu mendekat pada panci di atas kompor, menyendok isinya lebih banyak. "Ehm, enak," koreksi Mingyu. "Meski masih enak buatan mama saya, tapi ini enak,"
Mendengarnya, Wonwoo tak marah. Smanil menyiapkan piring, Wonwoo tersenyum dan berfikir, Dasar, kalau kangen masakan rumah kenapa nggak pulang aja ke New York tiap akhir bulan? Restoran di kota ini juga banyak yang ngasih menu makanan rumahan.
Namun dalam sedetik, alis Wonwoo mengerut. "Pak, ibunda Pak Mingyu.. masih ada?"
Pria tinggi itu terdiam membatu—tak menjawab pertanyaan Wonwoo. Suasana hening terpecah ketika handphone Mingyu berbunyi.
Beberapa detik lamaya, Mingyu bergeming di tempat mendengar suara dering di seberang sana—entah siapa—dan menjawabnya singkat-singkat. Setelah memutus sambungan telepon, pria itu mengantongi lagi handphone-nya dan kemudian meletakkan saucer di tangannya tak jauh dari kompor. Wonwoo mengernyitkan alis.
"Sorry, saya harus pergi. Ada keperluan mendadak,"
Pria itu berbalik, tersenyum tipis lalu berjalan melewati Wonwoo. Wonwoo membuka mulutnya tanpa bisa mengatakan apa-apa, terpaku membeku.
Suara langkah Mingyu menjauh dari dapur membuat perasaan Wonwookalut tanpa sebab. Ada sesuatu yang membuat dada pria manis itu sesak dan ingin melontarkan sebuah makian. Mingyu meminta dimasakkan sesuatu dan sekrang malah pergi?
Wonwoo hampir tidak bisa menahan umpatannya saat mendadak Mingyu berhenti sejenak seolah teringat sesuatu. Sambil menatap Wonwoo yang masih mematung, ia berkata.
"By the way, jawaban pertanyaan kamu tadi, mama saya masih ada,"
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgive and Forget || MinWon
FanfictionIs love capable of forcing you to make peace with the past? "If God can take away something you never imagined losing, then God can replace it by something you never imagined berfore" ⚠ warning ⚠ write in BAHASA, mixed language, harsh word & ignore...