32

318 25 0
                                    

...

'Ngapain di Suwon? Kalau udah balik ke Seoul, kabarin ya. Apes banget ketemu Minghao di bioskop. Dia bilang, sempet mau ngajak lo tapi lo tolak. Lo utang cerita ya, Kim Mingyu,'

Pesan dari Seokmin itu ia abaikan. Belum selesai masalahnya saat ini, Seokmin mneyebut-nyebut Minghao, membuat kepala Mingyu pening. Detik-detik menunggu di gazebo, duduk bersila, berhadapan dengan Wonwoo membuat Mingyu makin merasa waktu berjalan lambat. Apa yang akan ia katakan pada mamanya nanti?

Seorang pria masuk ke galeri. Usianya sekitar empat puluh tahunan, mengenakan kaos putih bertuliaskan 'Singapore' dengan gambar patung Merlion. Tingginya kurang lebih seratus tujuh puluhan. Kulitnya sawo matang. Pria itu sempat menoleh pada Mingyu dan Wonwoo.

"Mas Yasa, lukisan yang itu!" celetuk Jeonghan, melangkah masuk galeri sembari membawa sebuah nampan berisi dua gelas kaca.

Mingyu merasa jantungnya berdetak lebih cepat saat Jeonghan menghampiri gazebo dan tersenyum pada Wonwoo. Pria manis itu dengan santai menyodorkan satu gelas pada Wonwoo lalu menyodorkan satu gelas lainnya pada Mingyu. Tangan pria itu masih tersodor di udara ketika ia akhirnya bertatapan dengan Mingyu. Satu detik dan mata Jeonghan melebar.

Mingyu menurunkan pandangan matanya ketika gelas yang tersodor itu hampir terlepas dari tangan Jeonghan—Wonwoo sudah mengulurkan tangannya untuk meraih gelas itu.

Jeonghan menoleh pada Wonwoo. Mulut pria itu mendadak terkunci. Tubuhnya menegang dan ia membeku setelah menoleh kedua kalinya pada Mingyu. Tatapannya mendadak melekat, menyusuri wajah Mingyu baik-baik. Memaksa pria manis itu sedikit membungkuk lebih dalam ketika ia menekuri tiap jengkal wajah pria muda di hadapannya.

"Tante Jeonghan?" panggil Wonwoo—menghentak lamunan pria itu sekejap.

Jeonghan menoleh canggung. "O-oh maaf," pria itu tertawa kikuk. "Tiba-tiba ingat seseorang," Jeonghan menelan saliva-nya. Jantungnya memacu dengan cepat, mengalirkan darah dengan kencang ke seluruh tubuhnya. "Mirip... seseorang,"

Wonwoo terdiam, sementara Mingyu masih betah menunduk.

"Nama kamu siapa, nak?" tanya Jeonghan lirih—suaranya mendadak bergetar.

Mingyu tak menyahut. Haruskah ia bilang? Beberapa detik berlalu dan Mingyu masih bungkam. Pertanyaan itu bagai lenyap ditelan waktu. Namun, Jeonghan menunggunya. Menunggu nama itu mengudara ke pendengarannya. Ia ingin... memastikan.

"Siapa nama kamu?"

Mingyu nyatanya tak bisa bertahan lagi. Pria itu bergerak. Bangkit dari duduknya. "Mas—"

"Won, aku tunggu kamu di mobil," potong Mingyu cepat. Ia hanya sempat melirik Wonwoo sedetik.

"Mas Mingyu!" panggil Wonwoo khawatir.

Mata Jeonghan tak berkedip. Pria manis itu membeku begitu nama pendek itu terlontar di udara. Bagai efek magis, Jeonghan menoleh, berbalik dan menemukan sosok itu menjauh dari galerinya. "I.. gu.." Mahesa menelan saliva-nya agar suaranya bisa terdengar jelas. "Igu?"

Wonwoo meraih bahu Jeonghan, mengusapnya pelan.

"Igu? Igu?" racau Jeonghan.

Nama panggilan masa kecil putranya itu seolah tercekat di tenggorokannya. Dadanya sesak. Tidak mungkin, kan? Namun, wajah yang begitu mirip dengan suami pertamanya itu memaksa Jeonghan mengingat dengan keras sosok putranya. Garis wajah putra yang ia tinggalkan belasan tahun lalu tak setegas sekarang.

Pria itu menoleh pada Wonwoo. Wajah manis pria muda di depannya menjadi berbayang, tak lagi fokus karena cairan hangat yang memenuhi kelopak matanya. Beberapa detik bertukar pandang, Jeonghan lalu menggelang cepat.

"M-maaf, maaf. Saya rasa, saya salah orang."

Wonwoo menggeleng. "Bukan..."

Satu bulir air mata jatuh di pelah pipi Jeonghan.

"Dia memang Mingyu. Kim Mingyu,"

Nama anak yang dirindukannya disebut.

✎﹏﹏ତ

Mingyu mengusap wajahnya yang lelah. Pria itu tak tau harus melakukan apa sekarnag. Ia hanya menghabiskan setenagh jam terkahir untuk melamun di tepi jalan.

Sapuan jemari lembut menghentak Mingyu. Pria itu menjauhkan tangannya. Mendapati sosok Wonwoo yang tersenyum simpul padanya. Mingyu termenung beberapa saat sebelum melrikan pandangannya ke direksi galeri. Jeonghan berdiri di sana, memandanganya dengan lekat. Di bibirnya tersungging senyum hangat, tak memudar sedikit pun.

"Lukisannya tadi udah di masukin sama Mas Yasa, kan?"

"Iya," Mingyu menoleh pada Wonwoo dan menggenggam tangannya. "Udah, kan? Ayo pulang,"

Wonwoo mengangguk dan berjalab memutar ke pintu seberang. Pria manis itu menghetikan langkahnyasebelum membuka pintu mobil. Ia menatap Jeonghan beberapa detik untu bertukar senyum. Wonwoo membungkukkan kepalanya sedetik sebagai tanda pamit. Mingyu menelan salivanya. Pria itu menoleh pada mamanya sejenak, lalu buru-buru masuk ke dalam mobil.

Jeonghan masih betah berdiri di sana. hingga mobil itu, bergerak mennjauh, Jeonghan masih memandanginya. Senyumnya belum sirna. Sampai akhirnya, kendaraan itu tak lagi tertangkap jangkauan matanya.

Satu butir air mata kembali meluncur jatuh dari kelopak mata kanannya.

✎﹏﹏ତ

Perjalanan kembali menuju Seoul itu di penuhi dengan diam. Satu-satunya suara yang mengudara adalah suara musik. Wonwoo duudk termenung. Sebuah bag plastik bermotif polkadot bergeming dalam pelukannya. Di dalam sana, berdiam syal-syal rajut dan merchandise tirai dari kerang bambu hijau.

'Tidak sekalipun saya berani berharap anak yang udah saya tinggalin bakal datang ke tempat ini. Terlebih waktu saya dengar kalau mantan suami saya pindah ke luar negeri bertahun-tahun yang lalu,'

Wonwoo memejamkan mata.

'Tapi dia datang. Sama kamu. Kalian  datang. Saya.. nggak bisa bersyukur lebih dari ini. Meski ada sedikit keegoisan waktu saya mau peluk Mingyu. Meski pasti dia nggak mau saya peluk. Anak saya udah sebesar itu. Anak pertama saya. Superman junior saya. Dia sudah sedewasa itu,'

Wonwoo mengingat bagaimana pria itu tertawa pelan di sela tangisan bisunya. Jejak air mata yang belum mengering tertimpa dnegan buliran-buliran bening yang baru. Wonwoo masih bisa merasakan betapa hangatnya ketika Jeonghan tiba-tiba memeluknya dan menepuk pelan punggungnya berulang kali.

'Tolong sampaikan permintaan maaf saya ke Mingyu,'

Wonwoo ikut dibuat menangis ketika pria itu berbicara. Ternyata keputusan Mingyu mengenalkan Wonwoo pada Jeonghan secara langsung bukanlah keputusan yang salah. Mingyu benar, bertemu dengan pria itu sendiri membuat Wonwoo bisa menilai bagaimana sosok dan kepribadian Jeonghan meski hanya dalam waktu singkat. Jeonghan memang masih sosok ibu yang baik.

'Saya mohon, kalau bisa, datang lagi suatu saat nanti,'

'Saya janji,'

Wonwoo menarik nafas dalam-dalam. Semudah itu ia menjanjikannya.

'Mingyu sayang sama Mama Jeonghan,'

Ketika Jeonghan melepas pelukannya, tangan gemetar itu menangkup pipi Wonwoo.

'Mingyu sayang sama bundanya. Itu kenapa hari ini kami datang. Ada seseorang yang Mingyu rindukan. Dan itu Mama Jeonghan. Dia pergi... mungkin dia juga nggak atu apa yang harus dia omongin sama bundanya. Maka saya ngewakili Mingyu. Mingyu masih sayang sama Mama Jeonghan. Sayang banget,'

'Terima kasih. Bilang, doa saya selalu menyertai dia. Dan sekarang.. dia saya menyertai kamu juga,'

...

Forgive and Forget || MinWonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang