39

307 23 0
                                    

...

Kabar bahwa GM dari New York itu memeluk seseorang di tempat parkir restoran sampai ke telinga Wonwoo. Seharian ini, ia bekerja di ruangan lain untuk mencari beberapa data pekerjaan. Ketika beberapa temannya yang memilih makan siang di luar menceritakan itu, pandangan Wonwoo langsung tertuju pada Soonyoung. Wonwoo menutup laptopnya.

"Minghao?" tanya Wonwoo sambil menatap penuh pada Soonyoung.

Dada Soonyoung naik. Pria itu mengambil nafas panjang sebelum akhirnya mengangguk.

Wonwoo memejamkan matanya beberapa detik.

Soonyoung berangsur mengambil duduk di dekat Wonwoo. "Kalian gimana?"

"Nggak gimana-gimana,"

"You haven't called him yet, have you?"

"Nggak mood," jawab Wonwoo singkat.

"Won.." Wilona menghela nafasnya. "Gue denger dari anak GA, tiket pesawat buat besok ke New York udah siap lho,"

Wonwoo membuka laptopnya kembali.

"Lo mau semuanya berakhir tanpa kejelasan gini?"

"Why should I call him first?" Wonwoo menoleh cepat pada Soonyoung. "Kenapa jadinya seolah gue yang salah?"

Soonyoung tersenyum kecut. "Lo makin marah ya? Denger kabar soal Minghao sama dia pelukan?"

Wonwoo sempat terdiam beberapa detik sebelum akhienya ia menggeleng pelan. "Nggak juga," jawabnya sembari menghembuskan nafas panjang. "After I talked to Minghao last week, I thought of something. Sebenarnya bukan Jun yang paling buat gue ngerasa kesal. Tapi Minghao. Bukan dikhianati Jun, tapi dikhianati Minghao yang pernah jadi teman baik gue juga. Gue kesal karena apa yang udah kejadian nggak bakal bisa diperbaiki. Tapi gue harus lihat ke depan, Nyong. Gue mau Mingyu ada di depan gue. Tapi kalau dia sendiri sibuk sama pikirannya, gue mau apa selain ngebiarin dia?"

Soonyoung menunduk perlahan.

"Gue mau bantu dia. Tapi kalau dia nggak biarin gue buat bantuin dia maafin dirinya sendiri, apa yang bisa gue lakuin?"

Soonyoung mengulurkan tangannya.

Tiba-tiba handphone Wonwoo berdering.

Mingyu.

Mata Wonwoo melebar, begitu pula dengan Soonyoung. Wonwoo terpaku melihat nama Mingyu tertera di layar handphone-nya. Namun tangan pria itu terlalu kaku untuk meraihnya. Ia masih heran ketika handphone-nya berhenti berdering.

"Won? Matii!" Soonyoung memekik pelan. "Kenapa nggak lo angkat?" bisik Soonyoung bingung.

"Gue.. kaget,"

"Oh God.."

"What should I say? I mean.. tiga hari ini kita nggak bicara sama sekali. Apa dia mau ngebahas soal Minghao—"

Handphone Wonwoo berdering lagi. Kali ini Soonyoung menyambar handphone Wonwoo yang tak tersentuh sedari tadi di atas meja. Soonyoung menerima panggilan Mingyu dan langsung menyodorkan pada Wonwoo.

"Ngomong!" bisik Sooyoung.

Wonwoo menggigit bibirnya dan menarik nafas dalam-dalam.

"Won.."

"Kamu dimana?"

Mingyu tak menyahut.

"Aku dengar kamu ketemu sama Hao,"

Beberapa detik dan Mingyu menggumamkan 'iya'.

Wonwoo lagi-lagi menarik nafas panjang.

"Besok aku bakal balik ke New York,"

"Oke,"

"Paginya aku nggak ke kantor. Aku sama Seokmin langsung ke Jakarta,"

"Aku tahu,"

"Wonwoo, aku.."

"Apa?"

"Hao bicara apa sama kamu?"

"Dia bilang kamu yang nyuruh dia buat nemuin aku,"

"Iya," Mingyu berdeham pelan. "Sekarang apa?"

Wonwoo mengerutkan keningnya.

"Sekarang kamu tahu kalau Jun nggka pernah berkhianat ke kamu, juga sekarang kamu tahu kalau aku orang yang nyebabin kematian dia.. apa yang bakal kamu lakuin?"

"Apa yang kamu harapkan, Gyu?"

"Aku merasa bersalah. Merasa nggak seharusnya takdir kayak gini. Merasa bersalah ke Jun. Juga bayangin kalau kamu masih cinta ke Jun—"

"Apa itu buat kamu mau nyudahin semuanya? Antara aku sama kamu?" suara Wonwoo mulai terdengar bergetar. Pria manis itu banyak menunduk, mencoba menyembunyikan bayangan air matanya yang bisa terlihat Soonyoung kapan saja.

"Wonwoo.."

"Siapa yang ngajarin aku buat belajar memaafkan? Siapa yang ngajarin aku buat belajar melupakan apa yang udah lewat?" suara Wonwoo terdnegar makin lirih. "Apa kamu mau lari?"

Mingyu tak menyahut.

"Aku nggak pernah nyalahin kamu. Tapi apa kamu segitunya mau aku nyalahin kamu atas kematian Jun?" butiran air mata meluncur bebas di pangkuan Wonwoo. "Bahkan kalau aku nyalahin kamu, apa kalau aku bilang sekarang kalau aku maafin kamu atas kematian Jun, apa itu nggka cukup?"

"..."

"Hubungan kita mendadak nggak jelas karena kamu nggak mau maafin diri kamu sendiri,"

"Wonwoo, aku—"

"Aku sayang sama kamu, sampai sakit rasanya,"

Setelah kalimat terakhirnya, Wonwoo mematikan panggilan sepihak. Lalu menangkup wajahnya, pundaknya terlihat bergetar.

✎﹏﹏ତ

Mingyu tak menemukannya, ia sempat meminta Seokmin untuk mampir ke SIER sebelum keduanya meluncur ke PIER. Tapi di kantor, bagian HRD mengatakan bahwa Wonwoo izin tak masuk dengan mendadak. Mingyu mencoba menghubunginya, tapi handphone Wonwoo tak aktif. Soonyoung tak punya jawaban apa-apa.

Pulang dari PIER, Haris masih mencoba mendatangi apartemen Wonwoo. Namun, berkali-kali membunyikan bel tak menghasilkan apa-apa. Mingyu frustasi dan Seokmin hanya mengatakan kalau sebaiknya Mingyu bergegas pergi mengejar pesawat.

"Toh minggu depan lo balik ke Korea, kan? Mampir ke Seoul,"

Memikirkan kalimat Wonwoo membuat Mingyu ingin menemui pria itu. Namun Wonwoo bilang bak ditelan bumi.

Pria itu benar, ia-lah yang mengajari Wonwoo untuk belajar memaafkan dan melupakan sesuatu yang menjadi beban di hatinya. Kenapa ia bisa lupa?

"Kalau ada apa-apa pasti gue kabarin,"

Mingyu memijit keningnya.

"Udahlah, toh bukannya ini yang lo mau? Mengakhiri semuanya, trus pergi. Gue ingat perasaan lo ke kota ini tiga bulan lalu. This town for you is like a nightmare, right?" Seokmin mendesis pelan, heran sekaligus menyindir Mingyu.

Mingyu sadar bahwa kehadiran Wonwoo telah mengubahnya.

...

Forgive and Forget || MinWonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang