40

351 26 0
                                    

...

New York, 2024.

Sepanjang akhir minggunya, Mingyu tak bisa berpikir jernih. Setiap dekit ia berpikir betapa ia berharap sedang berada di Seoul. Mingyu sering merenung, sering menangkup wajahnya yang terlihat lelah. Benarkah keputusan yang sudah diambilnya ini?

Sama seperti detik ini, pria itu hanya duduk di ruang kerja di rumahnya. Dasi yang menghias kemejanya dibiarkan menggantung dengan tidak rapi. Ia banyak menunduk. Mingyu pun berjengit ketika pipinya merasakan dingin yang membeku dari sebuah kaleng cola yang disentuhkan di sisi wajahnya.

"Eh, hai Pa.. kapan masuk?"

Seungcheol tersenyum simpul. Menunggu Mingyu menerima kaleng cola yang ia sodorkan.

"Dari tadi. Sampai papa capek ngelihatin kamu diem,"

Mingyu tersenyum tipis. "Ada apa?"

"Kamu yang ada apa.."

Mingyu menggeleng lemah. Tangannya menerima kaleng cola dan membukanya pelan. Pria itu meminumnya perlahan, membiarkan air soda itu membasahi tenggorokannya.

"Adikmu sering senyum-senyum sendiri. Tapi kamu sering murung akhir-akhir ini,"

Mingyu mencoba mengingat Ishara. "Oh ya?"

"Syal yang kamu kasih ke Ichan itu—" Mingyu belum menceritakannya. "—dari mama kamu?"

Mingyu mengernyitkan alisnya. Beberapa detik Mingyu menghela nafasnya panjang. "Ichan cerita?"

"Ichan selalu terbuka sama papa. Nggak kayak kamu," Seungcheol terkekeh pelan.

"Ichan itu manja sama papa," Mingyu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Anak papa,"

"Dan kamu? Anak mama," ucap Seungcheol membuat Mingyu tersenyum. "Apa dia baik-baik aja?"

Mingyu memandangi kedua mata papanya lekat-lekat. Pria paruh baya itu menunggu Mingyu berbicara. "Kayaknya.. baik-baik aja,"

"Baguslah. Gimana ceritanya kamu bisa nyari alamat mama mu? Apa yang buat kamu akhirnya nyari mama mu?" pertanyaan Seungcheol belum terjawab saat ia melanjutkan, "Papa kenal kamu. Sangat kenal sifat kamu lebih dari apapun," Pria paruh baya itu mengangkat tangan kanannya yang tak memegangi kaleng cola dan menunjuk-nunjuk pelipisnya sendiri. "Keras kepalamu itu nurun dari papa,"

Mingyu tertawa pelan.

Dilihatnya Mingyu yang akhirnya mulai mencair. Tawa pelan putra sulungnya itu mempu membuat Seungcheol menghembuskan nafasnya lega.

Suara samar itu disadari Mingyu. "Maaf.. kalau bikin papa khawatir,"

Seungcheol tersenyum. "Terus? Pertanyaan tadi?"

"Oh," Mingyu tersenyum miris. "Sebelumnya, boleh Mingyu tanya sesuatu? Dari dulu Mingyu mau tahu, gimana cara papa maafin mama?"

"Papa kira kamu mau ngomongin masalahmu. Minta saran atau apa," Seungcheol menyandarkan sisi lengannya pada tepian jendela tak jauh dari meja kerja Mingyu. Sambil tertawa, ia berkata. "Harus papa jawab apa? Karena papa sayang sama mama kamu?"

Seungcheol mengerti raut keraguan yang timbul di wajah Mingyu. Ia tak lagi mencoba bergurau. "Perpisahan ini juga demi orang itu,"

"Demi—siapa?" Mingyu sempat menelan salivanya saat menanyakannya.

Seungcheol menunduk sejenak. Di bibirnya terukir senyum tipis. Pria berkaca mata dengan banyak helai uban yang tumbuh di rambutnya itu menggeleng pelan. Ia menarik nafas panjang dan tersenyum pada putranya. "Orang itu.. mama kamu,"

Mingyu makin tercenung. Diletakkannya kaleng minuman di atas mejanya dan ia perlahan berdiri, menyandarkan sebagian tubuhnya di ujung tepian meja—mengambil gesture berhadap-hadapan dengan Seungcheol. "Maksudnya?"

"As long as your mom's happy,"

Mingyu membisu.

"Bohong kalau papa nggak merasa kehilangan. Mingyu.. pertanyaan kamu.. tentang kenapa papa nggka mempertahankan mama mu, pertanyaan itu juga jadi penyesalan terbesar papa," Seungcheol menghelas nafas pelan. "Satu-satunya pembenaran papa cuma 'asal Jeonghan baik-baik aja'. Selalu itu,"

Raut bingung diwajah Mingyu membuat Seungcheol memilih melanjutkan penjelasannya. "Mingyu, kamu harus tahu kalau papa sama mama berpisah baik-baik. Waktu itu, mama kamu selalu tanya, apa papa bakal baik-baik aja tanpa dia. Papa bilang, asal ada kamu sama Isha, papa bakal baik-baik aja. Kalian itu kenangan hidup atas kerinduan papa ke mama kalian,"

"Tapi, pa—"

"Tapi penyesalan selalu aja ada. Ada saat-saat papa selalu mikir, andai papa nolak perpisahan itu. Andai , andai dan andai. Nggak kuat sama kenyataan bahwa kami terlanjut pisah, papa bawa kamu sama Isha ke kota ini. Papa yang.. menjauh,"

Mingyu kehilangan kata-kata, ada hal-hal yang tak ia pahami.

"Laki-laki yang sekarnag hidup sama mama kamu itu sahabat baik mama kamu sejak masa sekolah. Mama kamu itu tipe pemberontak. Kakek kamu orang yang keras. Dan dia, selalu jadi sahabat buat mama kamu, tempat mama kamu lari, tempat mama kamu menceritakan semuanya,"

"Jadi sama lelaki itu mama selingkuh?"

"Bercerai secara baik-baik terus menikah sama mantan kekasih sekaligus sahabatnya nggak membuat seseorang pantas dibilang selingkuh, Mingyu," jelas Seungcheol. "Apa papa pernah bilang kalau mama kamu selingkuh?"

Tidak.

Mingyu akhirnya memilih untuk menyimak. Dari cerita Seungcheol lah, Mingyu bisa menarik kesi pulan bahwa sebenarnya, papa dan mamanya.. saling mencintai. Dan bahwa kepergian sang mama sedikitnya dibalut rasa hutang budi pada pria yang pernah dekat dengannya. Terutama setelah pria itu menderita stroke dan bercerai dari istri pertamanya.

"Kalian saling mencintai, tapi karena laki-laki itu kalian pisah?" Mingyu mengernyitkan alisnya. "That doesn't make sense,"

Seungcheol hanya tersenyum miris. Seungcheol melangkah pelan menuju salah satu almari, mencari sesuatu. Begitu menemukannya, Seungcheol menyodorkan sebuah album pada Mingyu.

"Papa udah bilang kan, kalau papa sempat menyesalinya? Tapi waktu udah berlalu Mingyu. Kamu udah besar dan semua rasa sakit papa terobati dengan adanya kamu sama Ichan. Papa mencintai mama dengan cara seperti ini, lewat kamu.. sama adikmu,"

Mingyu menghela nafas panjang. Mendadak ia merasa letih—dengan kenyataan-kenyataan baru yang kini ia ketahui. Ia mencoba mencerna. Papanya tak pernah menceritakan ini kemarin-kemarin. Tapi kalau dipikir, kisah pahit itu memang bukan sesuatu yang mudah untuk diceritakan.

Pantas saja, Seungcheol selalu meminta Haris untuk tidak menyalahkan mamanya—memaafkan mamanya. Ah, bukan, ini bukan masalah siapa yang benar dan siapa yang salahm

"Bawa album ini buat mama kamu,"

Mingyu memandang Seungcheol baik-baik. Ia belum memiliki rencana untuk menemui mamanya. "Mingyu belum tahu kapan ke sana lagi,"

"Bukannya kamu mau ke Korea?"

"Mama di Suwon,"

Seungcheol tertawa pelan. "Kamu lagi ada masalah kan?"

"Bukan soal mama,"

"Tapi kamu bisa curhat ke mama kamu," Seungcheol melangkah pelan, menjauh dari tempat Mingyu berdiri. "Bahkan superman pun bisa jadi anak mama,"

Mingyu menggeleng-gelengkan kepalanya—tersenyum.

"Lain kali ajak Ichan buat ketemu sama mama kamu," sosok Seungcheol menghilang di balik pintu.

...

Forgive and Forget || MinWonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang