41

384 25 1
                                    

...

Selama penerbangan menuju Korea. Mingyu banyak merenung, memikirkan kembali perkataan-perkataan papanya. Kedua ornag tuanya sama-sama bersalah. Sama-sama... bodoh. Dan papanya... menyesal.

Mingyu mencengkram bagian dada kemejanya.

Waktu sudah berlalu begitu lama, tapi masih ada sisa rasa menyesal. Akankah ia seperti itu nantinya?

Belum sebulan Mingyu berdiri di pelataran galeri ini. Kali ini suasananya lebih ramai ketimbang terakhir ia mengunjungi tempat ini. Mingyu masih betah berdiri di depan pintu galeri sampai seseorang yang Mingyu pernah lihat—seorang pegawai yang duku membantu Mingyu mengangkat lukisan Wonwoo ke mobilnya—berlari kecil menuju galeri. Mingyu mengangkat tangannya, memberi tanda agar pria itu berhenti.

"Bisa.. tolong panggilkan.. Bu Jeonghan?"

(bu jeonghan njir gue pengen nangis dan ngakak sekaliguss T-T)

"Mas yang kapan hari ke sini itu kan?" pria itu memicingkan mata bersamaan dengan anggukan Mingyu. "Mas.." ptia itu terlihat menelan salivanya.

"Mingyu,"

Tak merespon lagi, pria itu langsung berlari masuk. Mingyu menunduk, memandangi sepatunya sendiri. Ia tak bisa memikirkan apa-apa sekarang. Ditepuk-tepuknya dadanya sendiri dengan satu kepalan tangannya, mencoba menenangkan dirinya sendiri.

Suara gemerincing dari dalam galeri yang terdengar samar, terdengar hingga ke telinga Mingyu—membuat pria itu menarik nafas panjang.

Suara terengah terdengar di belakang punggungnya, seperti baru berlari-lari kecil karena terburu-buru. Beberapa detik, sebuah tangan menyentuh pelan belakang lengan Mingyu. Ada sedikit getaran di sana.

Mingyu menoleh pelan, memandang sosok di balik bahunya yang menatapnya tak percaya.

"Hai.. Ma,"

Jeonghan menggigit bibirnya, mendekat ke punggung putranya, terisak pelan disana—dengan tangan yang masih bergetar memegangi lengan putranya dari belakang.

✎﹏﹏ତ

Mingyu membawa pesan Seungcheol, sebuah album berisi foto-foto Mingyu dan Ichan di dalam sana. Foto-foto sejak kecil hingga keduanya beranjak dewasa seperti sekarang. Ada foto-foto kelulusan, ada pula foto-foto liburan juga foto-foto di kebun rumahnya di New York. Kata Seungcheol, semua itu untuk mengganti kerinduan Jeonghan selama ini.

Jeonghan menutup lembar terakhir album foto. Pria mungil itu tertawa pelan di beberapa menit yang lalu. Beberapa potret di dalam album itu membuatnya sumringah. Jemarinya yang kurus mengusap-usap sampul album itu.

Jeonghan banyak menunduk. Pria itu betah tersenyum san merlahan memeluk album itu dengan erat. Mengangkat wajahnya perlahan, ia menemukan Mingyu yang duduk di depannya, memandanginya dengan teduh.

Mingyu mengangkat tangannya, menyodorkan selembar tisu pada Jeonghan untuk mengusap jejak air mata yang masih basah di kedua belah pipinya. Jeonghan tertegun sesaat, namun tangan pria itu terulur, meraih telapak tangan Mingyu yang begitu lebar, memijatnya pelan. Jeonghan menariknya, membawa ke depan wajahnya untuk ia ciumi.

"Sampaikan.. terima kasih mama buat Seungcheol,"

"Lain kali, Mingyu bawa Ichan mampir ke sini,"

Jeonghan menggenggam tangan Mingyu lebih kuat kali ini. "Terima kasih banyak, Mingyu.. terima kasih banyak,"

"Maaf.. baru sekarang Mingyu datang. Maksud Mingyu.. setelah bertahun-tahun lamanya,"

Jeonghan tertawa pelan, senyumnya mengembang lebar. "Asal kamu datang. Asalkan kamu datang.. itu lebih dari cukup,"

Mingyu menghela nafas lega. Di genggamnya balik tangan Jeonghan. Kali ini, Mingyu menangkupnya dengan mudah dan menepuk-nepuknya lembut. "Dimana.. suami mama?"

Jeonghan sempat terdiam beberapa saat.

"Dia.. ada jadwal kontrol kesehatan, ada suster yang ngantar,"

"Orang itu baik-baik aja?"

Jeonghan mengangguk pelan. "Begitulah. Kadang dia selalu bilang, mati pun nggak masalah, toh sudah tua," Jeonghan terkikik samar. "Katanya, biar mama bisa balik ke papa kamu. Mama selalu bilang, papa kamu pasti baik-baik aja. Seungcheol.. baik-baik aja, kan?"

Mingyu mengangguk. "Ada Mingyu sama Ichan yang bakal jagain papa. Mama baik-baik aja?"

"Hari ini adalah hari terbaik mama setelah bertahun-tahun. Ada kamu.. di depan mama. Sama kayak hari itu," Jeonghan menarik nafas panjang mengingatnya. Hari itu pun, ia tak menyangka kalau Mingyu akan datang lagi seperti sekarang. Beberapa detik Jeonghan menoleh ke sekitar.

"Laki-laki manis itu.. pacar kamu, ke mana? Dia nggak nemenin kamu ke sini?"

Mingyu menghembuskan nafasnya berat. "Ada sedikit.. masalah,"

Jeonghan mengerjap sesaat.

Mingyu tersenyum canggung. "Entahlah," imbuhnya tak jelas.

Jeonghan perlahan tersenyum teduh menatap putranya. Sudah sebesar ini, dan kini putranya datang kepadanya, membawa sesuatu yang mungkin ingin diceritakan.

"Papa bilang, aku selalu anak mama.."

Jeonghan menggigit bibirnya sendiri. Seungcheol benar. Sejak dulu, tidak berubah. Sejak kecil, selalu begitu. Jeonghan adalah tempat Mingyu menceritakan segalanya. Kisah-kisahnya dengan teman sepermainannya juga kisah-kisah di sekolahnya dulu. Bertahun-tahun lamanya, Mingyu tak berubah.

"Ada apa?"

"Entah, Mingyu nggak tahu harus bicara apa," Mingyu mendongak, mengedarkan pandangannya ke langit.

"Kalian pisah?"

Mingyu belum juga bisa menjawabnya. "Apa kalian bakal pisah selamanya? Kamu sayang sama dia?"

"Banget," Jeonghan menatap mata putranya baik-baik. "Tapi kata orang, cinta nggak harus memiliki kan, Ma? Demi kebaikan—"

"Siapa?" potong Jeonghan. "Demi kebaikan siapa?" Jeonghan meraih satu telapak tangan Mingyu, memijatnya dengan lembut.

"Bertahun-tahun, pertanyaan itu juga menjebak mama sama papa kamu," Jeonghan menghela nafas panjang. "Kadangkala, cinta itu emang sederhana. Asalkan dia bahagia. Gitu kata orang. Pertanyaan mama, apa benar dia bahagia sekarang?"

Mungkin tidak.

"Mama akan ngajarin kamu satu hal yang nggak dilakukan papa kamu dulu,"

Mingyu mengerutkan keningnya. Jeonghan mengeratkan genggaman tangannya, menekannya lebih kuat—memaksa putranya untuk mendengar apa yang akan ia katakan baik-baik.

"Kamu harus sedikit lebih egois, Mingyu,"

"Maksud mama?"

"Ada kalanya cinta memang harus memiliki. Tanyakan sama diri kamu, apa kamu yakin, akan ada laki-laki lain yang bisa mencintai dia sebesar kamu cinta sama dia? Kamu rela?"

Tidak ada. Dan ia tidak rela.

"Jangar biarkan.. keadaan memaksa kamu melepaskan apa yang sebenarnya bisa kamu pertahankan,"

...

Forgive and Forget || MinWonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang