11

394 32 0
                                    

...

"Pinjam laptopnya sebentar,"

Suara berat itu membuat Wonwoo kager setangah mati. Beberapa menit terkahir, tak ada suara terdengar, dan tiba-tiba Mingyu sudah ada di dalam ruangan—berdiri di belakang kursinya. Wonwoo mendongak memandang atasannya.

"Save dulu data kamu,"

"Laptop Pak Mingyu kenapa?"

Mingyu menoleh sebantar pada Wonwoo—tak menjawab. Tak menunggu lebih lama, pria tinggi itu mengambil alih laptop Wonwoo. Dengan cekatan, ia menyimpan semua lembar kerja milik Wonwoo—membuat Wonwoo yang duduk di dekatnya terbengong-bengong.

Mata Wonwoo melebar ketika ia mendpaati layar laptopnya dimatikan. Pria yang berdiri menunduk di sampingnya ini mematikan laptopnya!

"Pak—"

"Pulang. Di luar udah gelap,"

Wonwoo melongo.

"Gimana kalau kamu kecelakaan lagi?"

"Saya nggak naik motor? Saya bakal pesan taksi kalau pulang,"

Mingyu melenguh keras. Beberapa detik, keduanya hanya saling bertukar tatapan. Mingyu paham kalau dirinya sendiri bukanlah tipe orang yang suka berdebat untuk hal-hal yang tak jelas begini. Dan Mingyu paham pula bahwa pria di depannya ini bukan ,ain keras kepalanya. "Rapikan mejamu. Pulang,"

Wonwoo masih memikirkan sanggahan ketika dilihatnya Mingyu memnuka mulutnya lagi.

"Tunggu saya di lobby. Saya ambil laptop sama tas dulu di ruangan lain,"

Wonwoo terpaku—bergeming di posisinya saking bingungnya.

Mingyu berbalik, bersiap keluar ruangan saat lelaki itu mendadak menghentikan lagi langkahnya di pintu yang seharian ini selalu terbuka lebar. Pria tinggi itu menoleh pada Wonwoo, memberinya jawaban singkat. "Saya antar kamu pulang,"

✎﹏﹏ତ

"Kamu nggak pernah melihat berita?"

Wonwoo melangkah keluar dari mobil, menjejakkan kakinya ke bumi dengan begitu hati-hati. Menutup pintu mobil, Mingyu sudah melangkah mendekat ke arahnya. Pertanyaan atasannya barusan terdengar jelas. Tapi Wonwoo tak memahami maksudnya—tak paham jawaban apa yang sebenarnya pria itu butuhkan.

"Berita tentang bahayanya naik kendaraan umum sendirian. Kamu itu harusnya hati-hati membawa diri,"

Setelah menggumamkan 'oh' pelan, Wonwoo menjawab. "Ini bukan New York, Pak. Lagian jarak apartemen ke kantor nggak jauh,"

Mingyu mendesah panjang.

"Terima kasih sudah mengantar saya,"

"Saya mau numpang toilet apartemen kamu,"

Perkataan Mingyu barusan membuat Wonwoo menghentikan langkah. Dilihatnya pria tinggi itu menoleh ke belakang. Wonwoo terpaksa melangkah lagi. Wonwoo menggeleng. Bukannya pria itu barusan mengatakan soal menjaga diri? Wonwoo tak paham dengan cara pikir atasannya ini. Menjaga diri apanya? Dirinya ini masih seorang pria, loh? Ah sudahlah, pikir Wonwoo. Toh, pria itu atasannya.

Keduanya beranjak masuk ke dalam lift, berdiri berdampingan.

"Keluarga kamu nggak ada yang tinggal di Seoul?"

Pria manis itu mengangguk dan berdeham mengiyakan.

"Mereka nggak masalah dengan kamu tinggal di Seoul sendirian?"

Wonwoo tertawa pelan. "Pastinya. Seoul cukup aman dan nyaman, kok. Ayah saya nggak masalah. Seoul nggak masalah. Ayah asli orang sini, juga ada saudara tinggal di kota ini,"

"Oh, gitu,"

"Kenapa, Pak?"

"Saya punya adik di New York. Ayah saya pasti nggak mungkin kasih izin dia buat tinggal sendirian. Bahkan kalau ayah kasih izin, saya yang nggak akan kasih izin,"

Wonwoo melirik Mingyu perlahan. "Kenapa?"

Mingyu tak merespon.

"Apa salahnya sendiri?"

"Dia belum sedewasa kamu,"

"Oh, gitu," ungkap Wonwoo. "New York lebih.. uhm.." Wonwoo melirik ke langit-langit lift, memikirkan kata yang sopan—tapi tak menemukannya.

"Bejat?" sahut Mingyu ketika perkataan Wonwoo mengambang ke udara.

"Bukan saya yang bilang loh ya. Padahal saya tadi cuma mau bilang 'mengkhawatirkan'," Wonwoo tertawa kecil. "Saya dewasa karbitan sih. Sejak lulus SMA sudah di Seoul. Dulu sempat kos, tapi kaka-kakak saya kasih saran saya cari kontrakan. Ayah saya akhirnya kasih saya satu apartemen yang nggak besar-besar banget buat saya tinggali. Kalau kontrakan rasanya bakal sulit diurus. Lagian, saya jarang di tempat,"

"Kelihatan. Kamu lebih suka di kantor dari pada di rumah,"

Wonwoo menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Mungkin beda kalau kamu berumah tangga,"

Eh? Wonwoo menelan saliva. Tunggu, pembahasan apa ini?

"Berapa usia kamu?"

"Dua puluh tujuh ke dua puluh delapan,"

"Punya pasangan?"

Wonwoo terbatuk tiba-tiba.

"Kalau saya jadi ayah atau kaka kamu, kalau terpaksa harus ngelepasin kamu buat tinggal sendiri di kota besar, saya bakal paksa kamu nikah. Minimal, ada yang jagain kamu,"

Wonwoo merasa ingin mendengus sekeras-kerasnya. "Untungnya saya bukan adik atau anak Pak Mingyu," kelakar Wonwoo sekenanya.

Wonwoo melangkah secepat mungkin keluar dari lift begitu pintunya terbuka—mengabaikan Mingyu. Namun karena langkah pria mansi itu pendek-pendek sebab luka di kakinya, Mingyu dengan mudah bisa menyusul di sampingnya.

"Kamu anak ke berapa? Kakak-kakak kamu nggak ada yang protective?" tanya Mingyu tenang.

Wonwoo sudah lelah memaksa wajahnya tersenyum. "Anak bungsu dari empat bersaudara. Kakak-kakak saya sibuk sama keluarganya masing-masing,"

"Tinggal kamu yang belum menikah?"

"Nggak, kakak saya yang nomor tiga masih lajang," Wonwoo mengehentikan langkahnya. Pria manis itu membuka kunci pintu apartemennya sembari menoleh pada Mingyu. "Mungkin karena itu, nggak ada yang ribut soal kapan saya menikah,"

Mingyu mengangguk-angguk.

Wonwoo membuka pintu apartemen dengan mudah. Pria manis itu melangkah masuk lalu mempersilahkan Mingyu. Berjalan pelan, Wonwoomengarahkan atasannya itu ke direksi kamar mandi apartemen. Mingyu yang paham langsung melangkah maju.

"Ngomong-ngomong," ucap Wonwoo lirih. Mingyu menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang, Wonwoo melanjutkan. "Pak Mingyu juga, bukannya masih sendiri? Kenapa nggak cari pasangan?"

"Saya bisa menikah umur berapa saja," jawab Mingyu. "Lagian saya nggak butuh dilindungi,"

Wonwoo tersenyum kecut mendengarnya. Begitu saja?

Pria manis itu kehabisan kata-kata. Mingyu sudah membelakanginya, menuju kamar madni dan meninggalkan Wonwoo. Wonwoo menghembuskan nafasnya panjang. Sejengkel-jengkelnya ia pada atasannya, Mingyu sudah bersikap baik padanya dengan mengantarnya pulang. Ini kali kedua.

Wonwoo melangkah pelan menuju dapur. Di luar gerimis. Membuat cokelat panas sepertinya bukan ide yang buruk.

...

Forgive and Forget || MinWonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang