15

366 36 0
                                    

...

"Lo mau ngamuk sampai kapan, Won?"

Wonwoo merengut. Pria manis itu menggembungkan pipinya. Sesekali meminum isi gelasnya lewat sedotan, sesekali cuma melamun sembari memandangi karyawan-karyawan lain yang mampir ke kantin samping gedung kantor. Ini adalah hari ketiga Wonwoo begitu moody—seolah sedang PMS. Nyatanya, apa yang Wonwoo ceritakan memang sempat membuat Soonyoung ikut kesal. Meminta dimasakkan, lalu pergi begitu saja?

"Coba lo bayangin! Bayangin jadi gue, Nyong.."

Soonyoung sampai bosan mendengar keluhannya. Karena tiga hari berjalan adalah waktu yang cukup lama untuk seorang Jeon Wonwoo uring-uringan. Sooyoung tau betul sahabatnya ini. Ngambek bukanlah kebiasaan Wonwoo.

"Saking malesnya, gue buang tuh masakan. Langsung nggak mood makan. Nggak sempet gue panasin lagi, ujungnya basi," cerocos Wonwoo tak henti. "Nggak mau lagi gue di anterin pulang. Mulai sekarang gue nati sama yang namanya lembur,"

Tingkah Wonwoo lama kelamaan membuat Soonyoung tertawa. "Sampai segininya, Won? Lo berdua kayak orang pacaran lagi break. Sadar nggak?"

Wonwoo memicingkan matanya.

"Uring-uringan,"

"Gue nggak uring-uringan," bantah Wonwoo. "Gue ngomong gini cuma sama lo, Nyong. Sama Pak Mingyu nggak banyak ngomong. Mananya yang lo bilang uring-uringan,"

"Hati lo yang uring-uringan," goda Soonyoung.

Wonwoo mendengus keras.

"Apa lagi lo bilang dia ninggalin apartemen lo karena di telfon dari cowo lain?"

Wonwoo mengangkat kedua bahunya. Sejujurnya, ia tak ingin mengambil kesimpulan. Pria manis itu mengira demikiran karena saat itu, Mingyu tak banyak bicara ketika mengankat panggilan dan suara pria itu berubah lirih—terdengar lembut—ketika berbicara. Suasana dapur yang hening saat itu membuat Wonwoo mendengarnya cukup jelas, bahwa Mingyu menyuruh lawan bicaranya untuk tak datang ke rumahnya, untuk menunggunya.

Dinding-dinding dapur apartemen Wonwoo memantulkan suara Mingyu dengan jelas malam itu.

"Udahlah," Wonwoo menarik nafas dalam-dalam. "Kayaknya gue emang lagi capek aja, makanya emosian,"

Soonyoung tertawa. "Lo ngaku jealous juga nggak masalah kok, Won,"

"Jealous pantat lo kelap-kelip!" suara Wonwoo sedikit naik. Pria manis itu buru-buru melayangkan satu tangannya di depan mulutnya, membekap mulutnya sendiri.

"Lagian, gue denger cerita lo tuh kayak seolah kalian ada apa-apanya, njir," Soonyoung menaikturunkan alisnya, masih senang menggoda Wonwoo. "Get a hint, dong. Dia nyeritain soal adeknya, ayahnya—"

"Nggak usah lebay. Dia nggak cerita aneh-aneh, itu bukan sebuah cerita, Nyong. Itu cuma ngomong sebaris dua baris,"

"Ya tetep aja dia bawa-bawa keluarganya. How sweet, Won,"

Wonwoo mendesah panjang, tak habis pikir dengan cara pikir Soonyoung.

"Dia bandingin masakan lo sama masakan mamanya pula,"

"Ah, diem.. diem deh, Nyong. Omongan lo tuh makin ngaco!"

"Lagi ngomongin apa nih?"

Kedua pria itu membeku, saling tatap satu sama lain. Suara itu...

"Halo Wonwoo, Soonyoung.. saya di sini," panggil Seokmin bingung, melihat dua pria itu tak kunjung menoleh ke belakang.

Wonwoo menelan salivanya. Bersamaan dengan Soonyoung, keduanya menoleh pelan ke belakang. Ada Seokmin berdiri dua langkah di belakang kursi yang keduanya itu duduki. Pria itu tersenyum ramah sambil melambaikan tangannya, sementara tangan kirinya membuang rokok ke tempat sampah tak jauh dari pintu masuk kafetaria.

Forgive and Forget || MinWonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang