14

377 32 0
                                    

...

"Jumat-jumat gini, ngapain lo bawa satu buket mawar putih gitu?" tanya Seokmin heran. "Juga ngapain lo taruh di ruangan gue?"

"Nitip?" jawab Mingyu cepat.

Seokmin memperhatikan Mingyu yang memijik keningnya. Kebetulan dua hari terakhir Seokmin ke gudang. Pria itu baru bertemu Mingyu pagi ini. Awalnya ia sudah bersiap menerima omelan sahabatnya itu perkara tweet yang terbaca Minghao beberapa hari lalu. Namun pagi ini ia justru menemukan Mingyu membawa sebuket mawar putih—entah untuk apa. Mingyu mengabaikan Seokmin, sibuk memeriksa email di handphone-nya. "Kenapa nggak lo taruh di meja lo sendiri?"

Mingyu bergeming.

"Siapa yang dulu bilang kalau sikap gue bikin kita kayak pasangan? Sekarang, siapa yang bawa-bawa mawar putih ke ruangan gue dan bikin kita keliatan kayak pasangan?" keluh Seokmin. Pria itu mengerling pada asistennya yang mejanya terletak tak jauh dari pintu ruangan. "Jangan peduliin pembahasan kita, Shua,"

Mingyu mendengus. "Jangan banyak ngomong dulu lo. Mana mungkin gue bawa buket bunga segeda itu ke ruangan gue sendiri. BIsa jadi bawan gosip sama keryawan-karyawan lain terus mikir kalau gue bawa bunga buat Wonwoo,"

"Lah emangnya kenapa?" sahabatnya itu tertawa kecil.

"Ini juga salah lo ya, Lee Seokmin,"

"Hah?"

"Wonwoo kayaknya ngehindar. Dua hari ini dia jarang mau di ruangan. Ke tim safety buat urusan incident report lah, ke departemen prosedur buat ngurusin instruksi kerja lah, apalah,"

Perhatian Seokmin mulai terfokus. Pria itu mendekat pada Mingyu. "Gimana, gimana?"

"Apanya?"

"Ceritain coba. Salah gue dimana? Lo tadi bilang salah gue, kan?"

"Gara-gara tweet lo itu. Gue ninggalin Wonwoo buat datengin Hao. Pdahal gue nyuruh dia masak makan malam buat ganti gue nganterin dia pulang,"

"Terus lo ninggalin dia gitu aja setelah ditelfon Hao? Jadi Wonwoo marah?"

Mingyu mengangkat bahunya. "Dia nggak bilang marah. Dia bilang masakan yang gue minta dia masak itu dia makan sendirian. Gue kira problem solved, Tapi kayaknya—"

"Bro, lo kelamaan ngurusin Hao. Nggak sempet jalin hubungan serius sama siapa-siapa. If Wonwoo is your boyfriend, he'll be angry. Terus karena nyatanya dia itu bawahan lo, dia diem aja,"

Mingyu tak ingin memercayainya.

"Yaudah, tuh bunga mawar kasih aja ke Wonwoo," canda Seokmin. "Sebagai permuntaan maaf. Cowo manis suka luluh sama bunga,"

"Sinting,"

Seokmin masih betah tertawa dan menggoda Mingyu.

"Biarin aja. Lagian emang hubungan gue sama Wonwoo cuma sebatas asisten sama atasan. Kalau emang dia mau konsentrasi ke kerjaan, ya gue hargai,"

Seokmin menggeleng-gelengkan kepalanya. Senyum di bibirnya belum menghilang.

Mingyu kembali menyibukkan diri dengan layar handphone-nya. Pria itu tak benar-benar memandangi email di depan matanya. Nyatanya, ia cukup terganggu dengan sikap dingin Wonwoo. Pria manis itu dua hari ini tak lagi lembur. Begitu jam menunjukkan pukul lima sore, Wonwoo sudah merapikan mejanya. Mungkin nanti sore juga begitu.

"Good luck, Gyu,"

"Shut up,"

Seokmin tersenyum tipis. "So all these roses?"

"Hari ini jadwal istirahatnya panjang, kan? Gue mau nemuin seseorang,"

✎﹏﹏ତ

Langit Seoul terik meski angin masih seekali berhmbus pelan di bawah pepohonan yang menaungi pusara-pusara peristirahatan. Ia masih ingat jalanannya. Tak jauh dari tempat parkir mobil, ia harus menyusuri terotoar kiri, mencari tangga batu pertama, naik dan mencari namanya di sekitar sana.

Kekasih Minghao dulu.

Pria itu mengedarkan pandangannya, mencari nama pria yang pernah menyelamatkannya ketika kecelakaan bertahun-tahun lalu. Menemukan makan yang ia cari, pria itu mendekati batu nisannya. Mingyu meletakkan buket mawar putih yang ia bawa sedari tadi, membiarkannya berdiam di atas makam.

"Lo yang bawa gue sama situasi yang nggak gue tau kapan semuanya harus gue akhiri," suara Mingyu lirih. Mungkin hanya tersampaikan pada rumput-rumput, dedaunan pohon yang menaungi Mingyu di atasnya, dan pada angin hangat yang berhembus sesekali. Tangan Mingyu nersemayan diam di dalam kedua kantong celananya. Ia berdiri tegak. Pandangan matanya hanya tertuju pada sederet ukiran nama berwarna perak di permukaan nisan marmer hitam. Beberapa detik berlalu, tatapan Mingyu berubah sayu.

Mingyu mendesah lelah. "Sorry, gue datang tiba-tiba komplain," ungkap Mingyu sendirian. "Gue bahkan nggak nyapa lo tadi,"

Angin mengalir pelan, menggoyangkan beberapa helia rambur hitam Mingyu.

"Tiga hari lalu gue ketemu Hao. Dia sehat. Lo mesti udah tau, kan? Kalau pacar lo itu sehat-sehat aja setelah bertahun-tahun lo tinggalin?"

Suasana hening.

"Hao laki-laki baik. Krena cincin waktu itu.. gue yang ganti jagain dia. Karena lo pergi demi ngelindungingue malam itu. Tapi gue nggak paham hubungan apa yang kita jalanin," keluh Mingyu. Helaan nafas terdengar lagi. "Gue pengganti lo. Gue mau itu cuma sementara. Tapi bahkan enam tahun rasanya terlalu lama buat 'sementara' itu,"

Berbicara panjang lebar membuat Mingyu lelah. Sebanyak apa pun ia berbicara, tak akan ada jawaban. Mingyu melangkah maju. Pria itu lalu duduk di pinggiran makam yang di kunjunginya—duduk di atas rerumputan di sampingnya. Mingyu menangkup wajahnya dengan kedua tangannya, mengusapnya pelan. Satu pertanyaan terngiang di kepalanya. Sampai kapan? Sampai kapan ia harus menjaga Minghao?

"Gue pamit,"

Sebelum benar-benar pergi. Mingyu menoleh—berbalik. Matanya menangkap buket mawar putih yang tadi dibawanya. Pria itu terpaku sesaat. Sesuati terlintas dalam kepalanya. Ia ingat perkataan Seokmin ketika di kantor tadi. Pria itu memutuskan merain buket bunga mawar yang tergeletak di dekat batu nisan. Memandanginya lebih dekat, jemari Mingyu meraih satu batang bunga mawar. Menariknya pelan, Pria itu tersenyum.

Mingyu berbalik, membawa setangkai bunga mawar putih di tangannya.

...

Forgive and Forget || MinWonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang