13

373 31 0
                                    

...

Maserati Levante itu melaju cepat, menerjang angin malam di sepanjang jalan. Mingyu meminta Minghao menunggunya di Myeong-dong.

'Aku lihat tweet-nya Seokmin. Katanya kamu batal makan sama dia,'

Mingyu mengingat ucapan Minghao ketika menelfonnya tadi.

'Aku kira Seokmin lagi di New York. Tapi karena location-nya di Seoul, berarti kamu yang ke Seoul. Sampai kapan, Gyu?'

Mingyu menggemerutukkan giginya. Tak tau apakah ia harus mengomeli Seokmin besok atau menerimanya saja. Ia bukannya tidak mau menemui Minghao. Kalau dipikir-pikir, tiga bulan di Seoul tak mungkin ia tak akan memeriksa Minghao. Pria itu punya janji.

Mingyu memperhatikan kondisi jalanan yang ramai lancar. Berbekal GPS dan sisa-sisa ingatannya tentang jalanan Seoul, dengan mudah ia menemukan jalan tercepat. Pria itu mengurangi kecepatan kendaraannya, mencari jalanan masuk ke tempat parkir mobil.

Begitu memarkirkan mobilnya, Mingyu tak langsung turun. Pria itu duduk bersandar di dalam mobil, menangkup wajahnya yang lelah. Tak begitu lama, pria itu akhirnya memutuskan untuk turun.

Sebuah denting terdengar dari handphone-nya.

Pesan dari Minghao.

'Sampai di mana? Aku lagi antre di depan stan yang nggak jauh dari kedia kopi langgananku. Kamu cari meja deket jendela. View-nya kalau malam bagus,'

Mingyu merasa langkahnya berat. Pria itu berulang kali mendesah lelah. Namun sepelan apa pun ia melangkah, ia tetap sampai ke food court, setelah melewati deretan kedai begitu ia keluar dari mobil. Lelaki itu mendongak, memperhatikan satu persatu nama stan makanan, mencari yang tadi di maksud Minghao. Mingyu akhirnya menemukan yang ia cari. Ia segera mencari sosok Minghao di antara barisan orang.

Rambut ikal berwarna coklat gelap itu menarik perhatian Mingyu. Tinggi badannya yang mungkin sekitar seratur tujuh puluhan senti itu masih Mingyu ingat. Xu Ming Hao.

"Hao?"

Pria manis itu tertegun sedetik—lalu buru-buru menoleh cepat ke belakang.

Mingyu tak salah, pria itu memang Minghao. Poninya dipangkas rapi menutupi garis atas alisnya yang cantik. Di suasana food court yang terang, warna rona pipinya itu terlihat samar. Senyumnya mengembang melihat pria yang ditunggunya akhirnya muncul.

"Mingyu!" pria manis itu buru-buru melambaikan satu tangannya.

Mingyu tersenyum tipis dan mendatangi Minghao.

Begitu Mingyu berdiri di belakangnya, pria manis itu merentangkan tangannya—memeluk Mingyu tanpa aba-aba. "Mingyu..."

Mingyu menepuk punggung Mingjao lalu mundur, melepaskan pelukan Minghao.

"Kenapa nggak ngabarin aku kalau kamu ke Seoul?"

"Belum sempat,"

Minghao tersenyum ramah. Dalam jarak dekta begini, rona di pipi pucat pria itu menggelap. Membuat wajah Minghao semakin cantik. Pria manis itu dengan mudah menjadi perhatian beberapa pasang mata—membuat Mingyu mulai merasa risih karena Minghao masih tetap berbalik memandanginya.

"Yang penting kamu di sini sekarang,"

Mingyu berdeham. "Tuh, lo pesen sesuatu, kan? Ditunggu pelayannya,"

"Aku mau pesen bibimbap. Mau pesen juga?" tawar Minghao. "Kamu nggak jadi makan malam sama Seokmin, kan? Aku sempet mention dia, tapi nggak di bales,"

Mingyu mendongak, memandangi gambar-gambar menu di dinding atas stan.

"Mau pesen?"

Pandangan mata Mingyu terhenti di salah satu menu makanan. Sup daging asam. Pria itu menelan salivanya, ingat bahwa beberapa saat lalu ia masih tinggal di apartemen asistennya dan meminta Woneoo memasak menu serupa. Ada sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya—membuat pria itu merasa bersalah.

"Gyu?"

"Nggak, lo aja yang pesen makan. Gue nggak lapar. Gue pesen minum di stan sana aja," imbuh Mingyu sambil tersenyum singkat. Tak menunggu respon Minghao lagi, pria itu berbalik, menjauh dari stan.

✎﹏﹏ତ

Mingyu bersyukur, suasana meja-meja sekitar yang bingar oleh cakap-cakap pengunjung membuat suasana hening jadi tertelan suara lain. Pria itu memutar-mutar sedotan minumannya, mengaduknya pelan sembari melempar pandangan ke sekitar.

"Gyu, kamu yakin udah kenyang?" tanya Minghao cemas. "Kok lemes gitu?"

"Capek, Hao," jawab Mingyu sekenanya.

Minghao mendorong pelan mangkuknya, menawari Mingyu makan.

"Lo aja, makan," Mingyu yang merasa kepalanya penat tak banyak bereaksi. Pria itu hanya mencomot beberapa camilan yang Minghao pesan, membuat pria manis itu tersenyum. "Gimana kabar lo? S2 lo gimana? Masih bermasalah sama dosen yang terkahir lo ceritain itu?"

"Udah lancar kok," seru Minghao semangat. "Kamu di Seoul sampai kapan?"

"Sekitar dua bulan lagi,"

Senyum Minghao mengembang. Rona di pipinya itu makin terlihat jelas—menegaskan betapa senangnya pria manis itu mendengar kabar dari Mingyu. "Senangnya,"

Mingyu hanya tersenyum balik. Pria itu tak tau harus berkata apa.

"Andai bisa pindah kerja di cabang Seoul seterusnya..." imbuh Minghao. Pria itu menunduk, memainkan sendok di atas mangkuknya. "Nggak ada rencana buat.. pindah lagi ke sini?"

Mingyu menggeleng pasti.

Beberapa saat, Minghao kehilangan selera makannya. Bibimbap yang awalnya tersaji hangat itu makin mendingin suhunya. Sendok di tangan lentiknya itu masih tergenggam, tapi tak lagi menari di atas mangkuk. "Hei, menurut kamu.. gimana kalau aku cari kerja di New York?"

Pertanyaan itu membuat Mingyu berjengit. Pria itu bungkam beberapa saat lalu menggeleng. "Gue nggak mungkin nyaranin lo buat dateng ke kota rumit itu,"

"Terus kenapa kamu kekeuh tinggal di kota yang kamu bilang rumit itu?"

"Hidup gue di sana. Lagian, lo punya keluarga di sini. Kota ini tempat hati lo tinggal," jawaban Mingyu membuat Minghao tersenyum miris. Pria di hadapannya ini menegaskannya dengan jelas. Meminta Minghao sadar. "Kalau lo adek gue, gue bakal ngelarang lo pindah keuar negeri cuma buat pekerjaan,"

"Aku mau ke New York bukan cuma buat kerjaan," terang Mingjao sambil menarik nafas panjang. "Aku ke sana juga buat kam—"

"Apa pun alasan lo," Mingyu memotongnya. "Komunikasi kita nggak akan putus,"

"Nyatanya kamu nggak ngabarin aku kalau kamu lahi di Seoul,"

"Lupa," koreksi Mingyu. "Belum sempat,"

"Oke.." respon Minghao pelan. Pria manis itu merasa menyerah. Mingyu pandai bicara dan selalu bisa membuatnya kelihangan kata-kata—seolah tak akan pernah bisa membantah tiap berdebat seperti sekarang. "Weekend kamu ada acara ke mana?"

"Kenapa emangnya?"

"Aku mau.. berkunjung. Kamu tau kan, maksudku?"

Mingyu menelan salivanya. Selama ia datang ke Seoul, pria itu juga tak pernah mampir untuk mengunjungi pria yang Minghao maksud.

"Aku mau.. datang ke sana,"

"Minggu ini gue sibuk, Hao," jawab Mingyu cepat. Pria itu mati0matian menjaga agar suaranya tak goyah. "Maybe early next month,"

...

Forgive and Forget || MinWonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang