...
Langit Seoul berawan. Warnanya cenderung biru terang dan tertutup oleh banyak gumpalan awan yang lebar. Jika Wonwoo mendongak, matanya akan menemukan beberapa buah layangan berterbangan di antara sela-sela ranting pepohonan yanga tinggi.
Wonwoo bergeming. Matanya menatap nama Jun di hadapannya. Di atas makamnya—yang tanahnya ditumbuhi beberapa rumput liar—tergeletar sebuket buanga azalea. Pegawai toko bunga menjelaskan beberapa makna bunga. Dan ketika Wonwoo mengatakan kalau ia akan mengunjungi makam kekasihnya, Wonwoo mendapatkan bunga itu.
"Jaga dirimu baik-baik," jelas wanita di hadapannya, "Cocok di bawa ke makan seseorang yang penting buat kamu. Itu semacam salam perpisahan,"
Wonwoo yang tampak begitu murung membawa serta setangkai bunga anyelir merah pekat yang tetap ia genggam—bonus dari toko bunga yang ia pilih sendiri. Wonwoo menangkup wajahnya sendiri di depan makam.
"Kalau Tuhan bisa ngambil apa yang nggak pernah kamu bayangkan, Tuhan juga bisa menggantinya sama sesuatu yang nggak pernah kamu bayangkan juga," imbuh si pemilik toko bunga, sembari mencoba menerangkan tentang bunga yang Wonwoo bawa.
"Saya tahu itu, Tuhan memberikan sesuatu yang lebih dari pada yang sudah Dia ambil,"
Memang seudah bukan Jun, tapi Mingyu.
"Takdir bawa kamu pergi sekaligus bawa dia datang.. tapi dia sekarang.. pergi," suara lembut Wonwoo bergetar, cukup lirih namun suasana makam yang sepi membuat angin menerbangkan suaranya ke sekitar, membuat Wonwoo merasa mendnegar suaranya bergema.
"Kamu.. tenang di sana ya, Jun. Maafin dia, maafin aku, maafin.. kita,"
Wonwoo mendesah pelan. "Apa yang harus aku lakuin sekarang? Rasanya sakit. Sakit banget,"
Wownoo mengusap wajahnya yang basah, lalu bergerak mundur. Pria manis itu lelah. Ia ingin pulang. Mungkin setelah ini, ia memang harus melupakan semuanya.
"Wonwoo..."
Wonwoo membatu seketika. Pria manis itu berbalik dan menemukan Mingyu di sana. Dada pria tinggi itu naik turun, seolah ia baru saja berlari begitu jauh. Wonwoo terpaku. Sedang apa pria itu di sini? Setelah pergi begitu saja, lalu mendadak muncul semudah itu di depannya.
Wonwoo mendadak kesal. Ia yang tadinya lelah dan belum sembuh dari flunya, mendadak merasakan kekuatan di kakinya. Dengan cepat, Wonwoo melangkah. Dirinya melewati Mingyu begitu saja.
Nama Wonwoo mengudara beberapa kali. Panggilan itu berasal dari Mingyu. Tapi Wonwoo tak mengindahkannya. Pria manis itu mempercepat langkahnya. Ia tak ingin lagi mendengar ungkapan-ungkapan bahwa pria itu merasa bersalah atau yang lainnya.
Angin membentur kulit wajah Wonwoo ketika pria manis itu mulai setengah berlari. Jejak air matanya mengering di pipinya. Di turunan tangga batu, kaki Wonwoo terselip.
"Wonwoo!"
Lengan Mingyu menariknya dan pria manis itu jatuh terduduk di ujung atas tangga. Mingyu buru-buru berjongkok di hadapan Wonwoo.
"Kamu nggak apa?"
Wonwoo menarik tangannya kuat-kuat. Ia mencoba berdiri dengan cepat. Namun mendadak Wonwoo berjengit ketika ia merasakan nyeri di pergelangan kaki kanannya. Keseleo.
"Won—"
"Pergi!" teriak Wonwoo kesal. "Aku bilang pergi. Kamu emang mau pergi, kan? Aku muak sama rasa bersalahmu yang nggak ada ujungnya itu!"
Ucapan Wonwoo membuat mata Mingyu melebar.
"Buat apa kamu ke Seoul lagi? Pergi!"
Mingyu menenangkan Wonwoo dengan menarik pria manis itu ke dalam dekapannya. Namun Wonwoo memberontak dan berusaha melepaskan diri. Mingyu semakin erat memeluk Wonwoo. "Sorry, please.."
"Aku udah bilang kalau aku maafin kamu, kan? Sekarang pergi!"
"Maaf karena aku buat kamu semarah ini," imbuh Mingyu. "Maafin aku karena buat kamu sesedih ini,"
Air mata Wonwoo mengalir lagi. "Aku bilang.. pergi.."
"Maafin aku, aku mohon lupain kebodohanku kemarin-kemarin,"
Wonwoo akhirnya bungkam.
"Aku balik lagi.. karena kamu. Mikirin kamu buat kepalaku rasanya mau meledak," Jelas Mingyu pelan—tepat di samping telinga Wonwoo. "Aku sayang sama kamu, rasanya juga sakit banget,"
Wonwoo teringat kalimat terakhirnya tempo hari.
"Lari buat aku makin sengsara," Wonwoo memejamkan matanya. Kepalan tangannya menggenggam kuat bagian dada kemeja Mingyu. "Kamu ingat omongan kamu dulu?" tanya Mingyu.
'Aku bakal lepasin beban itu. Karena ada kamu di dekatku,'
"Aku bisa lepasin semua rasa bersalahku, asal kamu ada di dekatku. Kamu bilang, seandainya kamu nyalahin aku atas kematian Jun, kamu tetap bakal maafin aku, kan? Ternyata, itu lebih dari cukup,"
Butuh beberapa detik sampai akhirnya Wonwoo mengangguk. Sebenarnya Wonwoo paham bahwa Mingyu hanyalah kalut. Tapi membayangkan behwa keduanya berpisah karena masalah yang sudah lewat, membuat Wonwoo marah. Dan kini.. akhirnya Mingyu datang. Mungkin.. keduanya tak perlu benar-benar berpisah seperti ketakutannya kemarin. Wajah pria manis itu seolah menahan tangis.
Pelahan Mingyu melepas pelukannya. Dilihatnya wajah Wonwoo yang masih ouvat dan berantakan karena basah. "Apa aku yang buat kamu sekacau ini?"
Wonwoo menggigit bibirnya. "Kamu kira siapa lagi! Kamu yang nggak ngehubungin aku setelah hari itu! Kamu yang seenaknya ninggalin aku! Kamu yang seenaknya malah kelihatan Soonyoung ketemuan sama Hao! Kamu yang sesukamu mau lari dan buat aku patah hat—"
Mingyu membungkam bibir Wonwoo dengan ciuman singkat. Wonwoo menatap Mingyu baik-baik. "Sorry,"
Wonwoo kehabisan kata-kata.
"Maafin dan lupain kebodohan aku kemarin-kamarin,"
"Aku nggak punya pilihan lain selain maafin sama lupain kebodohan kamu itu, kan?"
Mingyu tersenyum. Pria itu berdiri dan Wonwoo ikut mencoba berdiri sekali lagi. Namun lagi-lagi berjengit karena menahan sakit di kakinya. Wonwoo melirik Mingyu yang menunduk khawatir.
"Aku.. bakal jalan pelan-pelan,"
Mingyu hanya menghela nafasnya dan menggeleng-geleng. Dalam sedetik, lelaki iti mengulurkan kedua tangannya dan meraih Wonwoo dalam gendongannya.
Wonwoo memekik. Pria manis itu kaget dan merasa ingin berontak turun.
"Jangan banyak gerak," Wonwoo mengerucutkan bibirnya, membuat Mingyu terkekeh. "Apa yang kamu bawa itu? Bunga apa?"
"Red cornation," Mingyu tak berkomentar. "My heart aches. I don't know if i can take the pain," jelas Wonwoo. "Itu artinya,"
Mingyu mengecup kening Wonwoo. Wonwoo melepaskan setangkai bunga di genggamannya, membiarkan jatuh ke atas tanah.
"Kok diem? Aku berat ya?" bisik Wonwoo.
"Aku udah terbiasa," Wonwoo tersenyum teduh, merasa rongga dadanya menghangat.
"Aku jadi ingat pertama kali gandong kamu. Waktu kamu kecelakaan,"
Wonwoo betah tersenyum. Ia mengingatnya. "Kalau waktu itu aku nggak kecelakaan, apa kita bakal sedekat ini?"
Mingyu menuruni tangga dengan hati-hati. Perlahan, ia berjalan menuju tempat parkir. "Mungkin. Takdir manusia siapa yang tahu,"
Wonwoo menyandarkan kepalanya di bahu Mingyu. Pria manis itu memejamkan matanya perlahan, tawa ringan mengudara. Wangi tubuh Mingyu yang begitu ia rindukan menenangkan pikirannya. Takdir. Begitu panjang takdir yang ia lalui. Hubungannya dengan Mingyu akan diperbaiki setelah ini. Tak ada lagi kenangan, tak ada lagi rasa bersalah yang mengekang.
Mingyu ikut tersenyum. Wonwoo membuka bibirnya tipis. "Mungkin.. Jun berperan besar dalam takdir itu,"
— End.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgive and Forget || MinWon
FanfictionIs love capable of forcing you to make peace with the past? "If God can take away something you never imagined losing, then God can replace it by something you never imagined berfore" ⚠ warning ⚠ write in BAHASA, mixed language, harsh word & ignore...