...
Wonwoo duduk termenung di apartemen. Ada Jihoon—kekasih Soonyoung—yang memebawakannya cokelat hangat setelah keduanya selesai makan siang. Jihoon membantu membereskan dapur tadi. Kini keduanya duduk di depan TV, menghidupkannya namun tak benar-benar menonton program-program di hadapan mereka.
Jihoon melirik Wonwoo berkali-kali. Sahabat kekasihnya—yang kini juga sahabatnya—lebih banyak menunduk. Memandangi busa-busa tipis di permukaan cokelat dalam cangkirnya.
"Apa yang bikin lo ikut stres gini?"
Wonwoo menggeleng. "Entahlah, Ji,"
"Dia belum ngehubungin lo?"
Wonwoo menggeleng. Pria manis itu melepaskan cangkirnya, meletakkannya di atas meja lalu menurunkan kedua kakinya dari sofa. Wonwoo merogoh kantung sweater, mengeluarkan handphone dari sana lalu memeluk lagi kakinya.
Tidak ada pesan atau panggilan dari Mingyu.
"Dia putus asa, stres, ironis banget. Padahal gue nggak se-stres dia,"
"Mungkin dia kaget karena ternyata lo atau dia sama-sama punya hubungan sama Minghao. Juga, karena dia ngira Minghao pacarnya Jun,"
"Harusnya itu bukan problem kan? Gue sama Mingyu bangun hubungan baru, Jun udah nggak ada itu kenyataan. Soal Minghao, gue udah memposisikan diri sendiri, gue terang-terangan nunjukkin ke Minghao kalau gue nggak akan ngebiarin dia ngambil Mingyu kayak dia ngambil Jun dulu. Then what's the problem for Mingyu now? Why didn't he call me?"
Jihoon menghela nafasnya. "If you're worried, you should call him. Bicara berdua, selesaiin bareng-bareng. Gue rasa banyak sesuatu yang dia tanggung sendiri,"
Wonwoo memandangi handphone nya lagi. Pria dengan sweater cream itu memandangi nomor kontak Mingyu, hampir mengetuk layarnya untuk menghubungi Mingyu—sebelum akhirnya bel apartemennya berbunyi.
Ada yang datang. Apa itu Mingyu?
✎﹏﹏ତ
"Gue ke dapur dulu nyuci piring bekas makan kita tadi. Gue buatin teh sekalian,"
Minghao menunduk memberi salam pada Jihoon. Ia kenal Jihoon, meski dulu tak sedekat hubungannya dengan Wonwoo. Jihoon sempat menatapnya tanpa ekspresi sebelum pria mungil itu berbalik dan melangkah pergi ke dapur.
Minghao mengeratkan genggamannya pada tali tas kecil yang diselempangkan pada pundaknya. "Boleh.. aku masuk?"
Wonwoo menepi, memberi gestur Minghao agar lelaki itu masuk. M dinghaouduk pada sofa yang ada, ia memangku tasnya.
"Ada apa lo ke sini? Harusnya lo tahu kalau kedatangan lo nggak pernah gue inginkan, Hao,"
"Maaf.. karena Mingyu,"
Mendengar nama itu di sebut, Wonwoo memicingkan matanya. "Apa maksud lo?"
Minghao mendesah resah. Pria itu memandang Wonwoo sayu. "Nggak lihatkah kamu kalau aku habis nangis?"
"Even if i realize that, i don't care,"
Minghao tersenyum miris. "Pasti kamu selalu anggap aku antagonis dalam hisup kamu kan? Tapi lucunya, kamu yang selalu bersikap sengit sama aku, Wonwoo,"
"What's the point, Hao? Gue nggak punya banyak waktu buat basa-basi. Lo kalau berharap kita bisa temenan baik kayak dulu, apa lo yakin lo nggak mimpi?"
Minghao membuka tasnya perlahan. Pria itu mengeluarkan sebuah cincin dan meletakkannya di atas meja. Benturannya dengan kaca menimbulkan suara dengtingan lirih. Wonwoo mengernyit heran melihat cincin yang disodorkan Minghao disana. "Apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgive and Forget || MinWon
FanfictionIs love capable of forcing you to make peace with the past? "If God can take away something you never imagined losing, then God can replace it by something you never imagined berfore" ⚠ warning ⚠ write in BAHASA, mixed language, harsh word & ignore...