DUA PULUH LIMA: Kami

298 23 6
                                        

Haii, selamat datang kembali!

Suka terharu kalau baca komen-komen kalian di cerita aku yang manapun. Terima kasih atas supportnya yaah, semoga aku selalu konsisten update cepat untuk kalian!

Sebelum membaca, vote dulu hyukk..

Selamat membaca, enjooooy <3

******

Zecapella tidak berselera makan. Gadis itu juga tidak lagi bersemangat pergi ke sekolah. Semenjak istirahat tadi, ia melarikan diri ke ruang kesehatan. Ia memilih untuk bolos demi ketenangan hati dan pikirannya. Tidak ia sangka, hari pertamanya masuk kembali sekolah malah disuguhi oleh permasalahan yang membuat Zecapella marah.

Ya, marah.

Gadis itu marah atas sikap bar-bar nya. Marah atas ketidakpekaannya. Marah atas segalanya yang bisa ia salahkan dari dirinya.

Zecapella memejamkan matanya. Ia mendengar suara bisik-bisik dari pintu masuk ruang kesehatan namun memilih untuk mengabaikannya. Ia butuh tidur. Setidaknya tidur dapat membuat dirinya merasa lebih baik lagi, mungkin.

Namun, saat gadis itu terlelap, ia justru tidak menyadari bahwa ada tiga orang perempuan yang menatap Zecapella dengan pandangan licik.

"Tidur dia, Ry,"

Kanary, perempuan yang merupakan kakak kelas dari Zecapella itu mengangguk. Menatap Zecapella dengan senyuman miring.

"Kalau udah kayak gini, dia udah nggak ada daya untuk ngelawan kita," ucap salah satu gadis lainnya.

Lagi, perempuan yang dipanggil Kanary itu mengangguk membenarkan ucapan kedua temannya.

"Siapa suruh ikut campur urusan kita waktu itu," balas Kanary pelan. Kanary menatap kedua temannya, ia lalu mengalihkan pandangannya pada dua tongkat yang membantu Zecapella berjalan.

"Bawa itu. Umpatin," ucap Kanary memberi perintah yang langsung dilaksanakan oleh keduanya.

Kanary tersenyum miring. Ia menatap jam di pergelangan tangannya lalu menatap Zecapella.

"Rasain," ucap gadis itu lalu pergi meninggalkan ruang kesehatan. Meninggalkan Zecapella yang masih lelap dalam tidurnya.

******

Genzano melirik Arbale yang berkali-kali mendecak. Lelaki itu seolah tidak tenang. Genzano dan Wero sudah beberapa kali bertanya pada lelaki itu. Namun, pertanyaan mereka hanya dijawab gelengan pelan oleh lelaki itu membuat keduanya enggan bertanya lagi dan memilih membiarkan Arbale dengan kerisauannya sendiri.

"Akhirnya gimana itu? Si Agil dan setan-setannya?" tanya Wero membuka percakapan pada Genzano. Genzano melirik ke Arbale. Lelaki itu kali ini ikut memusatkan perhatiannya pada pertanyaan Wero.

Genzano mengangkat kedua bahunya. Sesungguhnya ia tidak tahu. Keluarga Zecapella menutup rapat informasi tentang itu. Termasuk melarang media manapun meliput dan mengetahui kondisi Zecapella pasca penyerangan itu.

"Gue nggak tahu. Yang pasti udah diurus sama kakek dan bokapnya," jawab Genzano.

Wero menggeleng heboh. "Gila ya setan-setan itu! Berani banget berurusan sama keluarga Surendra. Mereka nggak tahu apa ceritanya? Keturunan keluarga Surendra tuh legend banget sama urusan geng-geng an kayak gini,"

Genzano menatap Wero dengan tertarik. "Gimana maksudnya?"

Wero menghela napasnya. "Masa sih lo juga nggak tahu? Mulai dari bokapnya Zee, Kakeknya Zee, bahkan bokap kakeknya Zee itu semua mantan ketua geng. Well technically bokapnya nggak sih tapi tetap aja! Bokapnya katanya dulu pernah bikin orang sekarat cuma karena selingkuhin kembarannya. Gila kan? Wajar kalau Zee bar-bar kayak gitu,"

EVERMORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang