Bab 35. Hari H

3.7K 174 3
                                    

Dengan memakai baju pengantin khas bugis, Fitiara melakukan ritual Mappacci.

Mappacci berasal dari kata Pacci, ya itu daun yang di haluskan untuk mewarnai kuku, mirip bunyinya Paccing, yang berarti bersih atau suci. Melambangkan kesucian hati calon pengantin menghadapi hari esok, khususnya memasuki bahtera rumah tangga, meninggalkan masa gadis, sekaligus merupakan malam yang berisi doa.

Sejauh ini semua berjalan dengan baik tanpa kendala apapun. Senyum dan tawa selalu menghiasi hari-hari Fitiara menuju hari H, tepatnya besok.

Setelah ritual tersebut, Fitiara ikut bergabung bersama anggota keluarga setelah mengganti pakaiannya dengan yang lebih santai.

"Nak, sudah jam 10, tidur miki supaya cepat ki juga bangun, karena mulai besok sibuk mi itu, bisa-bisa kurang istirahat ki" titah Rosana di turuti Fitiara pamit ke kamarnya.

***

Tiba hari yang di tunggu-tunggu. Hari di mana kedua insan yang saling mencintai akan melepas masa lajang mereka.

Dengan memakai baju pengantin tradisional khas bugis yang lebih mewah, Fitiara tetap berada di dalam kamar sesuai adat, dan akan keluar setelah mempelai pria mengucapkan ijab kabul dan menyusulnya ke kamar.

"Kak, rombongan mempelai pria sudah datang" seru Risti memberitahukan lalu menutup pintu menemani kakak sepupunya di dalam, tak membiarkan seorang pun masuk yang akan di ikuti orang lain nantinya hingga membuat kamar penuh.

Kedatangan Abram yang juga mengenakan baju pengantin khas bugis senada dengan Fitiara, di sambut dengan tarian adat bernama Padduppa, di mana semua orang berdiri penasaran ingin melihat lebih jelas sosok calon suami dari Fitiara yang katanya seorang duda dua anak dengan seorang cucu.

Amir dan istri Madduppa Botting, (menyambut kedatangan pengantin) dan menuntunnya memasuki kediaman mempelai wanita dengan di ikuti anggota keluarga yang membawa Erang-Erang. (Erang-Erang ialah seserahan sebanyak 12 macam benda yang memiliki makna. Juga 12 macam kue hantaran, dan sebuah lemari pakaian.

Abram di bawa duduk ke dalam sebuah tempat yang telah di dekorasi bernama Walasuji, (sejenis pagar bambu dalam acara pernikahan yang berbentuk belah ketupat) Walasuji berada di bagian ujung teratas meja Oshin panjang, (meja Oshin sendiri meja dengan kaki yang pendek, di buat untuk duduk lesehan, terinspirasi dari drama seri jepang dengan judul Oshin) di atas meja tertata Bosara. (Bosara merupakan piring khas bugis, biasanya di gunakan dalam rangkaian acara tertentu, khususnya acara yang bersifat tradisional, dan yang sarat dengan nilai-nilai budaya)

Di mana pengantar calon mempelai pria duduk lesehan di depan Bosara yang di isi beragam masakan khas bugis maupun dari daerah lain.

Imam masjid yang bertindak sebagai penghulu membimbing mempelai pria untuk membaca beberapa bacaan ayat suci Al-Qur'an sebelum ijab kabul di langsung kan. Setelahnya Parman selaku ayah dari mempelai wanita yang ingin menjadi penghulu menikahkan putri bungsunya mengambil posisi di depan calon mempelai pria.

Saat itu hiasan di kepala calon mempelai pria di lepas berganti dengan kopiah untuk melakukan ijab kabul. Abram meraih tangan penghulu, mendengarkan apa yang beliau katakan. Di mana di dalam kamar Fitiara tetap tenang mendengar melalui pengeras suara.

"Saya nikah dan kawinkan engkau saudara Abram Bremdi bin Bremdi Zelwin dengan anak saya Fitiara Kirana binti Parman Djaya dengan mas kawin berupa satu set perhiasan seberat 50 gram dan seperangkat alat sholat di bayar tunai!"

Dan tiba giliran untuk mempelai pria. Abram yang memang yakin dan sangat mantap tak menunjukkan kegugupan sama sekali. Ia siap mengikat Fitiara dengan ikatan pernikahan.

Di Kejar Cinta Bos PamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang