Bab 52. Perginya Abram, Hancurnya Fitiara

2.6K 160 8
                                    

Pagi hari ini terasa sangat berbeda, kediaman sederhana Parman yang nyaman di hiasi suara tawa maupun canda dari semua anggota keluarga, semua itu tak ada di pagi ini, keadaan terasa hening.

Fitiara yang masih berada di dalam kamar belum keluar hingga jam 10 siang. Dia tak tahu harus bagaimana dan bersikap seperti apa pada semua anggota keluarganya yang kecewa.

"Tidak! Aku tidak bisa terus menghindar, semua ini salahku, aku harus memperbaikinya" gumamnya lalu meninggalkan kamar dengan perasaan risau.

Dia bertemu dengan semua anggota keluarganya di ruang tengah termasuk Abram. Mereka mengedarkan pandangan pada Fitiara yang berada di sekitar, lalu kembali bercakap-cakap terlihat serius tak mengindahkan Fitiara yang melintas.

Fitiara berlalu dengan menundukkan kepala ke dapur untuk mengganjal perutnya yang lapar. Tapi lezatnya makanan yang ada di bawah tudung saji tak membuatnya berselera jika mengingat wajah kecewa semua anggota keluarganya.

Tapi dia tetap mengganjal perutnya yang lapar agar tetap sehat untuk memperbaiki kesalahannya meski itu membutuhkan waktu yang lama atau mungkin seumur hidup.

Sesuap demi sesuap yang masuk ke mulutnya, setetes demi setetes pula air matanya terjatuh. Mulutnya bergetar mengunyah makanan yang terasa hambar di mulutnya.

Setelahnya dia mencuci wadah yang sehabis di gunakan lalu meninggalkan dapur kembali ke ruang tengah. Tapi semua orang telah tidak ada, tampaknya kembali ke kamar mereka masing-masing.

Fitiara mendekat ke kamar kedua orang tuanya, mengetuk berkali-kali memanggil ayah dan ibunya meminta untuk di bukakan pintu, tapi keduanya memilih diam.

Fitiara yang malang mendekati kamar kakaknya juga melakukan hal yang sama, tapi hasilnya pun sama seperti kedua orang tua mereka.

Lalu dia mendatangi kamar tamu di mana Abram berada, dia juga mengetuk berkali-kali begitupun memanggil nama pria itu meminta di bukakan pintu, tapi Abram yang juga kecewa, tetap diam tak mengindahkan.

Tak mendapatkan respon dari semua orang, Fitiara kembali ke kamar menangis tak tahu harus bagaimana.

"Ya Allah mengapa engkau mengembalikan ingatan hamba jika hamba harus kehilangan semua yang hamba cintai. Hamba tidak apa jika selamanya hamba hilang ingatan, dari pada harus melihat wajah kecewa semua anggota keluarga hamba. Dan..." air matanya tertumpah hebat. "Suami hamba yang menerima keadaan hamba pun kini kecewa"

Kedua mata Fitiara nyaris tak pernah kering jika mengingat wajah-wajah kecewa keluarga juga suaminya. Dia  berserah diri pada yang maha kuasa, karena semua ini telah di atur olehnya, dan dia yakin yang maha kuasa tak akan menguji melebihi dari kesanggupan hambanya.

Hingga tak terasa sikap diam juga tak mengindahkan dari semua anggota keluarganya telah berlalu selama dua hari. Fitiara bagai seorang diri dan tak memiliki siapapun di dalam kediamannya. Dia pun selalu mengurung diri mengupayakan tak terlihat di mata yang lain. Karena dirinya sadar, keluarganya tak menginginkan kehadirannya di sekitar mereka.

Dan bagi Fitiara, dari pada keluarganya yang menghindar hingga mengurung diri di ruangan sempit, lebih baik dirinya yang melakukan hal itu.

Kamarnya tak hanya menjadi sebuah ruangan untuk beristirahat, tapi ibarat sebuah rumah dari sikap bungkam semua orang. Dia bak mengisolasi diri sendiri agar tak terus menimbulkan rasa kecewa jika dia menampakkan diri.

"Jangan lupakan kami yah"

Fitiara menahan daun pintu yang ingin dia buka lebih lebar mendengar ucapan ayahnya, dia bingung mengapa sang ayah berkata demikian. Karena ucapan itu sepatutnya di tujukan pada seseorang yang akan pergi. Lalu pikirannya tertuju pada Abram yang juga bungkam.

Rasanya kakinya gatal ingin segera keluar kamar memastikan siapa yang akan pergi. Tapi lagi dia sadar diri, malu berada di tengah-tengah mereka yang dirinya kecewakan.

Tak lamanya suara dari luar tak terdengar lagi, Fitiara pun makin risau. Dia putuskan keluar dari kamar tapi tak mendapati seorang pun. Dia ke kamar Abram yang pintunya tak tertutup, mencari-cari keberadaan pria itu tapi tak ada. Dia pun ke kamar orang tuanya yang pintunya juga tak tertutup rapat tapi hasilnya sama. Bahkan di kediamannya itu tak ada seorang pun. Dia bergerak ke teras depan melihat semua anggota keluarganya berkumpul di pinggir jalan.

Cepat-cepat Fitiara menghampiri mereka yang menatap sebuah mini bus yang baru saja bergerak pergi. Dia memerhatikan tak ada Abram di antara mereka.

"PAK ABRAM....!!!" teriaknya lalu mengejar mobil yang melaju kian menjauh.

Ketiga anggota keluarga yang ada di sana terkejut melihat aksi Fitiara. Terutama mereka khawatir karena lutut Fitiara belum sepenuhnya sembuh, tapi kini dia berlari mengejar mobil yang melaju.

"Pak, susul Fitiara pak" kata Rosana khawatir. Parman kembali ke kediamannya mengambil kunci motor lalu menyusul anaknya.

"PAK ABRAM....!!!" lagi teriak Fitiara terus mempercepat laju larinya dengan tergopoh-gopoh, mengejar mobil yang kini jauh dari pandangan dan tak mungkin terkejar lagi.

Lutut nya yang belum sepenuhnya pulih kembali sakit akibat memaksakan berlari. Sesal dan tak ingin kehilangan membuatnya tak memperdulikan rasa sakit itu, hingga dia berhenti karena terjatuh.

"Kamu tidak apa-apa nak?" tanya Parman segera turun dari motornya.
Fitiara yang menangis tak menjawab, bahkan dia menolak di tahan oleh sang ayah.

"Pak Abram pak, ayok di kejar" cicitnya memohon, dan Parman tak bisa menuruti. Dia membiarkan Abram pergi karena pria itu sendiri yang ingin pergi.

"Ayo nak, ayo pulang" bujuk beliau. Fitiara menggeleng bercucuran air mata menolak untuk pulang. Dia ingin mengejar Abram. "Tidak bisa ki paksakan kehendak ta nak, keinginan Abram pergi atas kesadarannya sendiri, kita harus hargai itu"

"Tapi pak Abram suamiku pak" cicit Fitiara tak ikhlas.

"Jika kalian memang jodoh, kalian pasti bersama ji"

Bagi Fitiara ucapan sang ayah seakan memintanya untuk ikhlas. Sedangkan dia berniat untuk memperjuangkan ingatannya akan pria itu. Yang mana Abram malah memilih pergi karena mungkin telah menyerah.

Dengan tergopoh-gopoh Fitiara ke motor ayahnya, kembali pulang ke kediamannya berlawanan arah dengan kepergian Abram.

Di dalam sebuah mobil yang melaju kian menjauh, Abram tersembunyi di balik kacamata hitam dan sebuah masker hitam pula, air mata pria itu terjatuh harus meninggalkan seseorang yang dia cintai. Dia pun sebenarnya tak ikhlas, tapi kecewa yang menyerang menuntunnya pergi meninggalkan istri yang belum lama di nikahinya.

Setibanya di kediamannya, Fitiara yang kembali pincang menatap ibu dan kakaknya bersalah, tersirat rasa penyesalan juga kesedihan yang amat besar terus meluruhkan air matanya. Dan kehilangan Abram mendera hati juga menyiksa ingatan-ingatannya yang kian jadi di serang ingatan tentang pria itu setelah dia memutuskan pergi.

"Maaf"

Hanya kata itu yang sanggup Fitiara ucapkan di hadapan keluarganya. Dia sangat sadar dirinya salah, tapi dia pun sakit dan tersiksa dengan semua ini.

Di Kejar Cinta Bos PamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang