Setelah mengganjal perut yang lapar hingga membuat Abram kekenyangan bahkan kesulitan bernafas, mereka mampir ke sebuah mini market terdekat, membeli beberapa camilan untuk kedua orang tua yang berjaga. Di mana Abram menunggu di depan, tak mampu berjalan banyak akan perutnya yang begah.
"Ayo sayang" seru Fitiara menenteng satu tas belanjaan. Abram mengambil alih membawa tas tersebut, tangan yang satunya menggandeng tangan istrinya.
Meski kini mereka tak bisa berduaan karena suatu yang tak diinginkan, tapi mereka memiliki cara sendiri menikmati waktu bersama.
Abram bersyukur karena kesederhanaan Fitiara, ia tak menuntut banyak darinya berubah untuk menyenangkan nya.
Begitupun sebaliknya, Abram yang notabene jauh lebih dewasa, bisa mengerti dengan keadaan keluarga Fitiara sekarang tanpa mengeluh.
"Masih begah perutnya?" tanya Fitiara
"Sedikit"
"Lari-lari yuk supaya makanannya cepat turun"
Abram tertawa, tak ada pilihan lain ia mempercepat langkah dengan berlari mengikuti gerakan istrinya yang membawanya berlari di atas trotoar jalan.
Abram menatap sendu Fitiara dengan penuh rasa syukur yang menggandeng tangannya erat. Tak bermaksud membandingkan dengan ia yang telah pergi, tapi ia yang lalu seseorang yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang dokter. Juga seseorang yang monoton dan terkadang otoriter.
Tapi kali ini ia merasa lepas bersama Fitiara. Bukan karena perbedaan segi usia, tapi Fitiara yang ceria berbanding terbalik dengan mendiang istrinya, membuat hidupnya lebih berwarna. Ia selayaknya anak muda yang baru menikah di awal usia 30 tahun.
Langkah keduanya terhenti di depan gerbang rumah sakit mengatur nafas yang tersengal-sengal, di mana senyum tak lepas dari wajah keduanya, bahagia dan bersyukur itu yang mereka rasakan saat ini.
"Sudah tidak begah perutnya?" tanya Fitiara
"Sudah tidak"
Kembali mereka mengambil langkah ke ruang VIP.
Tok! Tok!
Cklet..
"Assalamualaikum,."
"Waalaikumsalam,."
"Bapak,.!" pekik Fitiara bahagia melihat ayahnya telah sadar.
"Bagaimana keadaan anda pak?" tanya Abram masih kaku mengatakan bapak.
"Sayang, bapak" tegur Fitiara membuat ibu dan paman nya tertawa.
"Iya, bagaimana keadaan bapak?" Abram mengulangi pertanyaan yang sama
"Alhamdulillah sudah jauh lebih baik"
"Sudah ki makan?" tanya Fitiara
"Sudah mi, minum obat juga sudah mi"
"Syukurlah,. Oh iya mak ini ada roti sama jus"
Fitiara meletakkan belanjaannya, lalu bergabung bersama ibu dan paman nya di sebuah sofa.
"Nak pulang miki nah, istirahat di rumah miki" kata ibu dari Fitiara. "Bapak mu juga sudah sadar, di sini juga ada om mu yang temani mamak" sambung beliau
"Iya nak, pulang saja yah" imbuh Amir.
"Iya nak, pulang miki, bapak sudah tidak apa-apa, dokternya saja yang melarang bapak pulang" timpal ayah dari Fitiara.
melihat keadaan ayahnya yang sudah jauh lebih baik, Fitiara menoleh pada Abram yang tersenyum tak masalah.
"Kalau begitu kami pulang dulu yah, kalau ada apa-apa hubungi kami" kata Fitiara di anggukkan semua orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Kejar Cinta Bos Paman
RomanceLamaran ku tinggalkan, jodoh ku dapat. Kiasan itu mungkin cocok untuk Fitiara Kirana yang pergi dari rumah nya karena menolak di jodohkan dengan seseorang yang tak ia sukai. Ibu kota Indonesia menjadi tujuannya, karena di sana ada paman serta bibiny...