Mira dongkol setengah mati saat abang nya Juni mengundang teman-teman nya untuk sekedar menikmati secangkir kopi di rumah mereka. Bukan tanpa alasan, akhirnya siapa yang akan mencuci semua bekas piring dan gelas yang mereka pakai selama nongkrong di rumah selain Mira, Juni mana mau jika harus mencuci semuanya sendiri. Dia pasti akan berkata.
"Berbakti sedikit sama abang, jangan jadi adek durhaka."
Belum lagi ketika salah satu dari temannya itu membawa anaknya yang berusia 4 tahun, anak umur segitu menang sedang aktif-aktif nya, aktif memberantakan perabotan rumah Mira.
"Om, anaknya bilangin dong! Jangan suka berantakin bantal sama vas bunga! Mira capek harus beresin ulang! Iyah bang Juni mau bantuin! Inimah kagak pernah!" kesal Mira di hadapan Jenar Pradipta, duda anak satu yang di tinggal mati istrinya empat tahun lalu.
"Maaf, nanti biar saya yang beresin kursinya"
Juni merasa sungkan saat Jenar menjawab omelan Mira. Masalahnya setiap kali mereka bertemu pasti ada aja yang di ributkan oleh adiknya ini.
"Ga usahlah, santai aja. Udah deh dek, ke kamar sonoh! Biar abang nanti yang beresin," usir Juni pada Mira.
"Janji loh yah! Awas kalo bohong." Dengan begitu Mira merasa sedikit lega akhirnya bebannya berkurang setengah.
Juni menggeleng pelan atas tingkah laku Mira yang suka marah-marah kepada teman-temannya, Malu jika harus di kata.
"Sorry ya, Jey—adek ku marah-marah terus"
"Aku yang harusnya minta maaf, Juan membuat rumah mu berantakan"
"Gapapa namanya juga anak kecil, Juan lagi aktif-aktifnya" Juni kemudian menyesap kopi panas di atas meja dengan perlahan.
"Omong-omong, bagaimana? Kau sangggup?" tanya Jenar. Juni menghentikan isapannya, menerawang kedepan sambil memikirkan baik buruknya.
"Nanti deh aku kabarkan lagi, aku harus bicarakan ini dengan mira, Ga tega harus ninggalin dia sendiri di rumah" Biar bagaimanapun Juni menyayangi adik perempuan satu-satunya itu. Meski umurnya sudah menginjak 20 tahun yang dalam artian sudah dewasa, tapi Juni tidak pernah sekalipun membiarkan adiknya sendiri di rumah apalagi sampai harus tidak pulang berhari-hari.
"Yasudah aku pamit deh, sudah sore, Juan pasti capek dari siang terus ikut bersamaku bekerja. Jangan lupa batas nya sampe besok, kalau kamu ga bisa, aku akan kasih orang lain saja."
"Yo, nanti aku kabarkan secepatnya"
Dengan begitu Jenar pamit bersama anaknya dari rumah Juni.
Di dalam mobil anak berusia 4 tahun itu terus berbicara tentang bagaimana dia bermain dengan Mira hingga membuat Mira kesal karena ulahnya, sesekali Jenar akan meladeni anaknya bercerita, tertawa kecil lalu mengusap rambutnya sambil tetap fokus menyetir."Nanti kalo main lagi, jangan berantakin rumah temen Papa oke? Kasihan temen Papa capek beresin"
"Iya, Papa, Juan paham"
"Anak pintar" seraya mengelus rambut hitam anaknya.
🐣🐣🐣
Malam menjemput, waktunya si Juan kecil untuk tidur. Jenar berbaring bersandar pada headboard sambil membaca buku cerita penghantar tidur untuk Juan menjemput mimpinya.
"Akhirnya sang pingguin itupun hidup bahagia—" laki-laki itu melirik Juan di samping yang sudah terlelap, mengecup pucuk kepala sang anak lalu bangkit membiarkannya tidur seorang diri.
Baru saja keluar dari kamar, handphonenya berdering. Juni memanggilnya. Segera Jenar angkat lalu berjalan pelan sedikit menjauh agar Juan tidak merasa terusik akibat suaranya mengangkat telepon.
"Ya, hallo?"
"Aku ambil. Adek ku bilang dia gapapa aku tinggal seminggu ini"
"Yakin?"
"iya, sudah ku tutup dulu teleponnya, bye"
Satu masalah pekerjaannya sudah beres kini dia hanya perlu tidur dan ikut bersiap esok pagi, ia akan ikut mengantar keberangkatan Juni sampai sahabatnya itu sampai kota tujuan dimana perusahaan cabang berada dan kembali pulang di sore harinya.
Malam terlewati begitu cepat, selesai dengan persiapan-nya Jenar kini berada di depan rumah Juni menunggu laki-laki itu berpamitan pada adiknya.
"Beneran gapapa abang tinggal sendiri?"
"Iya abang ih! Udah sana!" Mira mendorong paksa Juni hingga mau tak mau ikut terdorong pelan ke belakang.
"Abang cuman seminggu, kamu hati-hati di rumah, jangan main sembarangan apalagi sampai larut malem, Inget"
"Iya, Abang bawel"
Juni menghela nafas berat, sebelum benar-benar pergi ia mengecup sekilas dahi adik tersayangnya, "Abang berangkat sekarang, jaga diri baik-baik"
"Iya, Abang"
Di dalam mobil tak hentinya juni melirik kaca spion untuk memastikan adiknya yang masih berada di luar rumah, sesekali ia akan menghela nafas cemas. maklumi ini pertama kalinya bagi Juni meninggalkan adiknya seorang diri setelah orangtua mereka meninggal dunia 5 tahun lalu akibat kecelakaan mobil.
"Adik mu akan baik-baik saja, aku akan mengeceknya tiap hari ke rumahmu tenang saja." Juni melirik Jenar yang tengah fokus menyetir di sampingnya, dia kembali menghela nafas berat, beruntungnya ada Jenar sang sahabat, Juni tidak perlu terlalu khawatir.
Sepertinya dia memang harus membiasakan diri berpisah dengan adiknya, karena tidak mungkin juga Juni harus selalu bersama adiknya 24 jam.
Juni mulai tenang dan bersandar pada headrest mobil Jenar. Omong-omong di dalam mobil sangat sepi, pria itu melirik ke belakang dan menyadari ada seseorang yang kurang sedari tadi.
"Anak mu ga ikut?"
"Ngapain? Juan sama neneknya, ga mungkin aku harus membawanya keluar kota"
"Oh, pantes dari tadi sepi"
"Kalau ada Juan malah pusing. Kau tahu, Anak itu bakal terus mengoceh selama perjalanan, kau harus tahu itu." Juni tertawa kecil, benar jika ada Juan pasti selama perjalanan dia bakal terus membeo tanpa henti, ada saja yang akan ia ceritakan entah tentang kejadian bangun tidur, saat mandi ataupun saat dirinya merajuk kepada Jenar, semua akan ia ceritakan.
"Tapi kau ga kasihan? Juan selalu kau titipkan pada neneknya? Kamu ga ada niatan cari istri lagi gitu Jey?"
Jenar diam dalam pikirannya, Ia menghela nafas panjang.
"Kayaknya aku mau jadi orangtua tunggal untuk Juan, aku masih belum siap, Jun"
"Ya, apapun itu, semoga yang terbaik untuk mu dan Juan deh" Jenar mengangguk, perhatiannya kini fokus pada jalanan, tidak ada lagi obrolan di sepanjang jalan, sampai mobilnya berhenti di sebuah bandara Soekarno-Hatta untuk melanjutkan perjalanan dengan pesawat.
Lain hal dengan Jenar dan Juni yang sibuk menunggu keberangkatan pesawat, di sisi lain Mira tengah berjingkrak jingkrak ria.
"Wohooo— akhirnya abang pergi! Bebas juga sendirian tanpa bang Jun!" Mira melompat-lompat di atas kasur miliknya membuat acak berantakan bantal serta selimut di atasnya.
Dirinya turun lalu mengotak-atik handphone di atas meja, menghubungi seseorang di seberang sana dalam bentuk panggilan video.
"Sha! Besok jadi?! Gue ikut ya, shaaa plisssss" ucap Mira pada wanita di seberang layar. Terlihat gadis itu tak percaya pada Mira yang mendadak ingin ikut bersamanya esok malam.
"Abang lo gimana Mir? Ogah ah takut gue" jawab sasha takut-takut mengingat bagaimana protektifnya Juni kepada Mira.
"Aduh shaaa! Bang Juni keluar kota seminggu, jadi gw bebas seminggu ini, pokoknya gw ikut ga mau tau!"
Tut!
Mira mematikan sepihak panggilan videonya. Cewek itu berbaring sambil tersenyum lebar, jantungnya berdebar menantikan hal seperti apa yang sudah menantinya nanti, ia sangat tak sabar.
•
Vote dan komen biar lanjut ke inti cerita🌚⚠️
Ps: Panggil min atau mimin😏
KAMU SEDANG MEMBACA
DUDA RESE! (21+)
Любовные романыGema desah memenuhi gendang pendengaran keduanya. Setiap sudut ruangan tak lepas dari decakan lendir yang dihasilkan dari sebuah penyatuan. Mira mengeluarkan suara suara erotis yang bisa membangkitkan gairah lelaki di atasnya. Mira tak pernah menya...