Halo,adakah yang masih inget sama cerita ini?
Maaf banget udah ngilang selama hampir 2 tahun🙏🏻🥺
Pelan-pelan, aku bakal mulai lanjutin lagi cerita ini. Adakah yang masih nungguin?
Yok, semangatin author biar bisa segera selesein cerita ini
Vote + komennya jangan lupaa
Selamat membaca🤍
***
Selama Tama bercerita, Erlan tidak mengalihkan tatapannya sedetik pun. Cowok itu fokus mendengarkan apa yang ayahnya katakan. Sesekali melirik Opa Rian kala kakeknya ikut memberi penjelasan.
Erlan kehabisan kata-kata dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa setelah mendengar cerita panjang dari ayah dan opanya.
Jika dirangkum, penjelasan Tama dan Opa Rian kurang lebih seperti ini:
Dulu, Tama adalah asisten pribadi Vania-Ibu kandung Erlan. Suatu hari, Opa Rian menjodohkan Vania dengan anak dari salah satu rekan bisnisnya. Vania menyetujuinya karena lelaki yang akan dijodohkan dengannya adalah pria yang pernah ia sukai semasa kuliah. Namun sayangnya, sang pria tidak mencintainya.Awalnya, pria yang akan dijodohkan dengan Vania menerima perjodohan itu karena paksaan dari orang tuanya. Namun, ketika persiapan pernikahan mereka sudah mencapai sembilan puluh persen, pria itu menghilang begitu saja. Beberapa bulan kemudian, Vania menerima kabar jika pria itu sudah menikah dengan kekasihnya.
Vania yang merasa frustasi akhirnya pergi ke sebuah club malam. Ditemani Tama yang waktu itu juga sedang kalut karena istrinya tak kunjung hamil setelah beberapa tahun pernikahannya. Entah apa yang terjadi di sana malam itu, mereka berdua berakhir di kamar hotel keesokan harinya.
Vania hamil.
Opa Rian yang mengetahui hal itu marah besar dan meminta Tama menikahi putrinya. Atas persetujuan Citra, akhirnya mereka menikah.
Sebagai seorang suami dengan dua istri, Tama berusaha berbuat adil dengan membagi waktu untuk kedua istrinya. Hal itu membuat Citra cukup kesepian ketika suaminya harus tinggal di rumah Vania. Terlebih lagi ketika Vania melahirkan Erlan. Tama lebih sering menghabiskan waktu bersama anak dan istri keduanya. Oleh karena itu, Citra memutuskan untuk mengadopsi Aldo dari panti asuhan.
“Maafin papa karena nggak pernah cerita ke kamu.”
“Aaarrgghhh!!” Erlan berteriak di atas motornya yang melaju kencang di jalanan. Tadi, ia langsung pergi begitu Tama menyelesaikan ceritanya.
Mata Erlan memerah. Dadanya bergemuruh. Cowok itu kembali meluapkan emosinya dengan menarik pedal gas dalam-dalam, membuat laju motor semakin cepat.
Sepuluh menit kemudian, motornya berhenti di area pemakaman yang nampak sepi dan gelap. Dengan langkah pelan, Erlan menyusuri area pemakaman dan tiba di depan sebuah makam yang sudah sering ia kunjungi.
Makam Vania-ibunya.
Tak seperti biasanya, kali ini Erlan datang dengan perasaaan kecewa dan marah. Bunga mawar yang biasanya tak pernah absen ia bawa, kini pun tak nampak di genggaman tangannya.
Erlan memandang kosong nisan bertuliskan nama ibunya.
***
“Tari?”
Areta tak bisa menyembunyikan keterkejutannya begitu melihat Tari berada di ruangan yang sama dengannya. Namun, gadis yang kini sibuk mengeringkan rambut dengan hair dryer itu nampak santai dan mengabaikan keterkejutan Areta.
“Kenapa kita bisa ada di sini?” tanya Areta. “Ini dimana?”
“Tari!” Areta mengambil hair dryer di tangan Tari karena cewek itu tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Tari menatap Areta malas. “Nggak tau.”
“Gue serius.”
“Lo pikir gue becanda?”
“Terus kenapa lo bisa ada di sini?”
“Nggak tau.”
“Serius, Tar.”
“Gue beneran nggak tau.” jawab Tari apa adanya. Satu minggu yang lalu, ia juga terbangun di tempat ini tanpa tau kenapa bisa di sini. Seingatnya, ia sedang makan di pinggir jalan setelah diusir istri baru papanya. Namun ketika membuka mata, gadis itu sudah ada di ruangan ini.
“Gue mau pulang.”
Areta kembali berusaha membuka pintu yang terkunci rapat. Sementara Tari hanya menyaksikan sebab ia tahu apa yang dilakukan Areta hanya membuang-buang tenaga.
“SIAPAPUN TOLONG BUKA PINTUNYA!!”
“TOLONG!!”
“BUKA PINTUNYA!”
“BUKA!!”
“BU-"
Tari menegakkan tubuhnya mendengar suara kunci diputar. Areta juga melangkah mundur menyadari pintu akan dibuka.
Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruangan sembari mendorong troli dengan beberapa piring berisi makanan di atasnya. Langkah kakinya berhenti di dekat meja di sudut ruangan.
Tanpa mengatakan apa-apa, wanita itu langsung kembali berjalan keluar.
Areta yang melihat pintu masih terbuka langsung mengambil langkah lebar untuk keluar dari ruangan itu.
“Eh, anak Bunda udah bangun?” seorang wanita yang Areta perkirakan seusia Sandra, menatap Areta dengan senyum lebar.
“Tante siapa?” bingung Areta.
“Tante? Kok manggil Bunda begitu?”
“Tante bukan Bunda saya.”
Melihat ekspresi wanita itu mulai berubah, Tari buru-buru mendekati Areta dan merangkulnya.
“Dia baru bangun tidur. Jadi masih nglantur ngomongnya. Bunda ngapain ke sini?” tanya Tari setenang mungkin. Masih teringat jelas ketika wanita itu menamparnya habis-habisan sebab dirinya berontak dan tak mau memanggilnya Bunda.
Wanita itu kembali tersenyum mendengar pertanyaan Tari.
“Bunda bawa hadiah buat kalian,” ujar wanita itu sembari menyodorkan masing-masing dua buah paper bag untuk Areta dan Tari.
Tari membuka salah satu paper bag dan menemukan sebuah dress berwarna merah muda. Ia juga menemukan sepasang sepatu di paper bag lainnya. Begitupun dengan Areta.
“Besok malem kalian pake di acara ulang tahun Bunda ya,”
“Oke Bun,” Tari tersenyum lebar. Tangannya mencubit pelan lengan Areta agar gadis itu mengikuti apa yang ia katakan.
“I-iya Bun,” ujar Areta pelan.
Wanita itu tersenyum senang. Ia bergerak maju untuk memeluk Areta dan Tari.
"Makanannya udah Bunda siapain. Kalian makan terus istirahat ya,” ujarnya kemudian meninggalkan ruangan.
Tari sudah bergerak mengambil makanannya, sementara Areta masih berdiri diam.
“Makan,” Tari menyodorkan satu piring untuk Areta. Namun, gadis itu tetap diam.
“Mau keluar dari sini kan?” Areta mengangguk.
“Nurut apa kata gue,”
“Kita bisa keluar dari sini?” tanya Areta ragu.
Tari mengangguk yakin.
***
Next?
11 Juni 2024

KAMU SEDANG MEMBACA
ARETA
Roman pour AdolescentsAreta Zevania Putri. Tak ada yang lebih membuatnya hancur selain harus berpisah dengan satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini. Perpisahan yang membuatnya tidak akan bisa bertemu dengan orang itu lagi. Dalam setiap pertemuan memang akan ada p...