41. Kembali

216 26 2
                                    

"Arrghhh!"

Tari mengerang frustasi. Mereka gagal kabur setelah salah satu penjaga berhasil menembak ban mobil yang ia kendarai. Dan kini mereka berakhir di kurung di dalam sebuah ruangan kosong.

Areta yang berdiri tak jauh dari Tari meraup wajahnya lesu. Pun dengan Erlan yang duduk bersandar pada dinding dengan mata tertutup. Sedari tadi kepalanya berdenyut nyeri. Banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya namun ia tak sanggup untuk sekedar berbicara.

Sekitar lima belas menit ruangan itu menjadi hening. Mereka bertiga sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Tari ingin segera keluar dari sini. Ia merindukan rumahnya. Ia rindu bersenang-senang di luar sana. Dan tiba-tiba Tari juga merindukan ibunya.

Tak berbeda dengan Areta. Gadis itu juga merindukan keluarganya. Mereka pasti sedang mengkhawatirkannya.

Klek

Pintu yang terbuka mengambil alih atensi mereka. Termasuk Erlan yang kini membuka mata untuk melihat siapa yang datang.

Pria yang Areta dan Tari ketahui sebagai pemilik rumah ini berjalan mendekati mereka. Seorang dokter mengekor dibelakangnya.

"Sudah saya bilang saya tidak akan menyakiti kalian. Asal kalian patuh." pria itu menatap Tari dan Areta. "Ini yang pertama dan terakhir!" peringatnya.

Atensi pria itu beralih kepada Erlan yang sedari tadi masih diam. "Periksa dia." titahnya kepada dokter yang berdiri di belakangnya.

Areta mengalihkan pandangannya, menatap dokter yang berdiri di belakang pria itu. Raut terkejut terlihat jelas diwajahnya saat mengetahui siapa dokter itu.

"Om Gilang?" gumam Areta tanpa suara.

Areta langsung memberi isyarat agar Gilang pura-pura tidak mengenalnya. Gilang yang sebenarnya terkejut berusaha bersikap biasa saja. Ia segera memeriksa kondisi Erlan.

"Luka dikepalanya cukup parah. Dia perlu dijahit." Jelas Om Gilang setelah mengecek luka di kepala bagian belakang Erlan. "Kita perlu ke rumah sakit."

"Tidak bisakah dilakukan di sini?"

Om Gilang menggeleng.

"Kalau begitu tidak perlu dijahit."

"Tapi-"

BRUK!

"Ta!" pekik Tari melihat Areta tergeletak tak sadarkan diri.

"Cepat periksa dia!"

Gilang buru-buru mendekati Areta untuk memeriksanya. "Detak jantungnya lemah." ujarnya panik. "Kita harus segera ke rumah sakit."

"Tapi-"

"Kita tidak punya banyak waktu!" seru Gilang.

Pria itu akhirnya tidak punya pilihan. Mereka membawa Areta dan Erlan ke rumah sakit.

"Kamu tetap di sini!" ujarnya pada Tari sebelum keluar.

***

Dirga masuk ke dalam kamar dan mendapati istrinya tengah menatap kosong ke arah jendela. Hilangnya Areta benar-benar membuat Sandra terpukul.

"Ma," panggil Dirga. Sandra tak bereaksi. Wajahnya begitu kacau dengan mata sembab karena terlalu sering menangis.

"Tadi Raka beliin bubur ayam kesukaan Mama. Mama makan dulu ya," bujuk Dirga. Sandra menggeleng. Bagaimana bisa ia makan sementara di luar sana entah bagaimana keadaan anaknya.

Dirga menghembuskan napas lelah. Dirinya juga merasa kehilangan Areta namun ia masih sedikit berpikir jernih dengan tidak mengabaikan kondisi tubuhnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 10, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ARETATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang