BRAKK!!
Kecelakaan yang melibatkan dua buah kendaraan itu tak bisa terelakkan. Sebuah sepeda motor yang dikendarai seorang laki-laki berseragam sekolah beradu dengan mobil box berwarna hitam.
"Sial!!" umpat salah satu pria yang duduk dibalik kemudi. Keduanya menatap sang pengendara motor yang sudah terkapar di jalan.
"Gimana ini, Man?"
"Tinggalin aja udah."
"Kalau orangnya mati gimana? Saya nggak mau berurusan sama polisi."
"Ya terus gimana? Ini barang-barang udah harus dikirim sekarang juga."
Pria itu berniat kabur namun diurungkan karena ada beberapa warga yang mendekat. Setelah sedikit perdebatan, mereka akhirnya mau membawa pemuda itu ke rumah sakit.
"Kirim dulu barangnya baru ke rumah sakit." ujar pria yang dipanggil Man setelah menutup telepon. Pria itu kembali fokus menyetir mobil.
"Kalau orang ini telat dibawa ke rumah sakit terus mati gimana?"
"Kalau kita telat, kita juga bakal habis."
Pria yang duduk di sebelah pengemudi menghela napas berat. Melirik pengendara motor yang duduk ditengah dalam kondisi pingsan.
Matanya memindai kondisi pemuda yang tak sengaja ditabrak rekannya. Netranya berhenti bergerak ketika melihat badge name di seragam yang pemuda itu pakai.
Pria itu mengejanya perlahan. "Er-lan-do Pra-ta-ma."
***
Areta melirik was-was dua pria berbadan besar yang menggiringnya entah kemana. Didepannya, Tari berjalan dengan tenang.
Mereka berhenti di ruang makan, dimana seorang pria paruh baya dan seorang wanita yang kemarin meminta dipanggil Bunda sedang duduk menunggu.
"Duduk." Perintah sang pria.
"Asal kita nurut, mereka nggak bakal ngapa-ngapain kita."
Areta mengingat-ingat apa yang Tari katakan. Gadis itu langsung duduk di salah satu kursi. Bersebelahan dengan Tari.
"Ahh, Bunda seneng banget kita bisa sarapan bareng kayak gini lagi." wanita yang duduk di depan Areta tersenyum bahagia.
Areta menatap lekat wanita didepannya. Setelah ia perhatikan lagi, tampaknya wanita ini tidak asing. Areta yakin pernah melihatnya di suatu tempat.
Tapi dimana?
Gadis itu sedikit tersentak setelah Tari menyenggol lengannya. Lewat matanya, Tari menyuruhnya agar segera memakan makanan yang disajikan didepannya.
Areta berdehem sekali. Melihat pria dan wanita itu menatapnya, ia segera menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
"Gimana sayang? Enak?"
Areta mengangguk kaku. "Enak." Jawabnya pelan membuat senyum wanita itu makin merekah. Begitupun dengan sang pria yang ikut menyunggingkan senyum melihat istrinya nampak begitu bahagia.
Sudah lama sekali ia tak melihat senyum wanita yang berstatus sebagai istrinya itu.
Mereka melanjutkan sarapan dengan tenang.
"Bunda siap-siap gih,"
Wanita yang dipanggil Bunda menoleh. "Mau kemana?" tanyanya.
"Hari ini kan jadwalnya ketemu Dokter Agnes."
"Loh hari ini? Bunda malah lupa,"
"Iya. Gih siap-siap."
Setelah istrinya pergi, pria itu menatap Areta dan Tari. Satu tarikan napas diambil sebelum pria itu berujar, "maaf karena membawa kalian ke sini."

KAMU SEDANG MEMBACA
ARETA
JugendliteraturAreta Zevania Putri. Tak ada yang lebih membuatnya hancur selain harus berpisah dengan satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini. Perpisahan yang membuatnya tidak akan bisa bertemu dengan orang itu lagi. Dalam setiap pertemuan memang akan ada p...