37 - Hilang

1K 82 3
                                    

"Kamu udah ada yang jemput?" Bu Friska bertanya sembari merapikan alat tulisnya. Hari ini ada bimbingan olimpiade karena tiga hari lagi Areta akan mewakili sekolah mengikuti olimpiade matematika.

"Saya bawa motor sendiri, Bu," jawab Areta.

"Kalau begitu hati-hati ya pulangnya," pesan Bu Friska.

Areta tersenyum sembari menganggukkan kepala. Ia mengekori Bu Friska keluar dari ruang khusus ekskul olimpiade sembari membetulkan ranselnya.

Keduanya berpisah di persimpangan. Bu Friska kembali ke ruang guru sementara Areta menuju parkiran.

Sekolah sudah hampir sepi karena jam pelajaran sudah berakhir dua jam yang lalu. Hanya tinggal beberapa anak OSIS yang tengah sibuk melaksanakan rapat rutin mingguan.

Areta sampai di tempat ia memarkirkan motornya tepat saat jam menunjukkan pukul lima sore. Hari sudah agak gelap karena mendung membayangi sejak siang tadi. Areta buru-buru menyalakan mesin motor. Takut-takut hujan akan turun sebelum ia sampai rumah.

Motor yang Areta kendarai melaju membelah jalanan ibu kota. Seperti biasa, jalanan padat oleh kendaraan. Sesekali terdengar suara klakson dibunyikan.

Areta memperlambat laju motornya dan berhenti di belakang garis zebra cross saat lampu lalu lintas di depannya berubah merah. Beberapa pedagang yang sedari tadi menunggu dipinggir jalan kini mulai menawarkan barang dagangannya ke satu pengendara ke pengendara lain.

Tatapan Areta jatuh kepada dua orang anak laki-laki yang sedang menjajakan tisu ke orang-orang. Baju lusuh yang nampak kebesaran membalut tubuh mereka. Kedua kakinya nampak kotor karena tidak ada alas kaki yang melindungi kaki kecil mereka.

Hati Areta terenyuh. Merasa kasian karena di usia mereka yang masih kecil, mereka harus berjuang mencari uang untuk makan.

Mungkin itulah yang membuat Areta akhirnya memanggil dua anak itu.

"Kakak mau beli tisunya?" tanya salah satu anak itu. Tubuhnya lebih tinggi daripada anak yang berdiri di sebelahnya.

Areta mengangguk. "Berapa harganya?"

"Satunya sepuluh ribu kak."

"Kakak beli lima ya," ujar Areta. Tangannya merogoh selembar uang seratus ribuan yang terselip di saku baju seragamnya.

"Yaah, kembaliannya nggak ada kak." Anak itu mengecek isi tas kecil yang tersampir dilehernya.

Areta tersenyum. "Kembaliannya buat kalian aja," ujarnya membuat wajah dua anak itu berseri.

"Beneran kak?"

Areta mengangguk lagi.

"Wah, makasih ya kak."

Setelah memberikan tisu untuk Areta, anak itu kembali menepi ke jalan karena lampu sudah berubah menjadi hijau. Areta pun melanjutkan perjalananya.

Baru dua menit berkendara, motornya kembali berhenti. Kali ini bukan karena lampu merah, melainkan karena kemacetan yang entah apa sebabnya.

Puluhan mobil dan motor stuck di tempat. Hingga beberapa menit kemudian keadaan tetap sama. Mereka tidak bisa bergerak maju sedikitpun.

Areta menimang-nimang keadaan. Entah sampai kapan kemacetan ini akan berakhir. Daripada menunggu tanpa kepastian, Areta memutuskan untuk mencari jalan lain.

Gadis itu bernapas lega setelah terbebas dari kemacetan. Laju motornya ia percepat agar segera sampai rumah. Namun tiba-tiba sebuah mobil mencegatnya. Hampir saja terjadi kecelakaan jika Areta telat menekan rem.

ARETATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang