Genta menutup pintu kamarnya dengan keras sehingga menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Beruntung, kedua orang tuanya yang gila kerja belum terlihat keberadaannya di rumah, sehingga Genta bisa bebas tanpa takut akan mendapatkan cambukan gesper dari ayahnya.
Sejak kecil, Genta termasuk anak yang kurang akan kasih sayang dan perhatian dari orang tua. Kedua orang tuanya lebih mementingkan pekerjaan daripada merawat dan mengasihi anaknya. Mereka lebih menyayangkan akhir pekan mereka yang tidak dipakai bekerja daripada menyayangkan akhir pekan mereka yang tidak dihabiskan dengan quality time bersama putra tunggal mereka yang kini sudah tumbuh dewasa.
Tas hitamnya yang terlihat kempes tersebut dia lemparkan ke atas kasur berukuran king size. Tanpa memikirkan efeknya, dengan penuh tenaga tangannya menonjok dinding kamarnya yang bercat abu. Berulang kali, hingga menimbulkan bercak darah yang ke luar dari ruas-ruas jarinya.
"Arghhh, sial. Gue benci, benci, dan benci.", teriak Genta bak orang yang kesetanan. Tangannya tak lagi dirinya daratkan di tembok, tapi nafasnya masih terdengar memburu dengan wajahnya yang memerah, tanda jika dirinya tengah emosi di level tertinggi. Berjalan melewati ranjangnya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan badannya dan mendinginkan darahnya yang mendidih.
Genta ke luar dari kamarnya dengan memakai kaos oblong dan celana selututnya. Rambutnya yang hanya dirinya keringkan dengan handuk kecil membuatnya masih basah.
Kaki panjangnya menuruni anak tangga menuju ke arah dapur untuk melihat apakah ada sesuatu yang bisa dirinya makan. Belum sempat kakinya memijak ruangan tempat berkutat dengan kompor, Genta memberhentikan langkahnya karena melihat dua orang yang tengah menyantap makanan di meja makan.
Perutnya yang berbunyi tanda jika dirinya lapar dia kesampingkan. Genta lebih memilih membalikkan badannya dan kembali menaiki anak tangga menuju ke kamarnya. Rasa laparnya kini sudah berganti dengan rasa benci dan kecewa kepada dua orang yang tengah ada di ruang makan.
"Kayaknya anak mereka tuh dokumen-dokumen, bukan gue.", ucap Genta dengan raut wajah yang tersirat akan kebencian dan kekecewaan.
"Boro-boro nawarin dan nyuruh anaknya buat makan bareng kayak orang tua pada umumnya, bahkan di meja makan pun mereka masih fokus ke handphone mereka masing-masing.", lanjutnya lagi diakhiri dengan suara pintu kamar yang ditutupkan sekaligus, menimbulkan suara yang keras bahkan terdengar sampai ke lantai bawah."GENTA! SEKIRANYA KAMU TIDAK BISA MENGGANTI PINTU MAHAL ITU, JANGAN COBA-COBA MERUSAKNYA!", teriak seseorang dari lantai bawah menggelegar. Teriakan tersebut sama sekali tak dihiraukan oleh remaja laki-laki yang tengah mengepulkan asap vape dari lubang hidungnya. Genta merasa, jika laki-laki berkepala empat yang bernama lengkap Razi Firmansyah tersebut sama sekali tak pantas disebut sebagai seorang Ayah.
Asap vape nampak bergulung di balkon kamar Genta. Sambil menyesap nikotin pada benda yang dia apit di jarinya, Genta kembali mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Darahnya kembali menggolak dengan hati yang kembali terasa panas, terbakar oleh api cemburu.
Sebelah tangannya dia pakai untuk menyalakan mobile data pada ponselnya yang kontan saja membuat banyak notif bermunculan. Membuka aplikasi whatsapp dan ada banyak pesan dari cewek-cewek yang caper dan berharap bisa mendapatkan perhatiannya.
Bukan rahasia umum lagi jika Genta pun masuk ke dalam jejeran most wanted SMA Wiyata. Tak berniat membalas atau bahkan sekedar membuka pesan dari mereka, Genta lebih memilih membuka room chat grup kelasnya yang sudah dipenuhi oleh 50 lebih pesan yang belum dirinya baca.
High Social Generation
Firman
gue ada gosip
KAMU SEDANG MEMBACA
Teacherzone
أدب المراهقين"Jilat ludah sendiri" sepertinya memang benar adanya ya? Terbukti dengan kisah yang dialami remaja bernama Felycia Agneza Pandjaitan yang sudah berkata tak akan mungkin jatuh cinta pada Rofi Andriawan yang merupakan guru baru Bahasa Indonesia di sek...