London, 11.00 PM
Seorang remaja perempuan nampak masih fokus merangkai untaian demi untaian kata di atas kertas HVS. Waktu sudah malam, tapi Isyana sepertinya masih semangat menulis sebuah puisi dan belum ingin merebahkan tubuhnya di atas kasur yang tak sebesar di kamarnya yang ada di Indonesia.
Sudah hampir 6 bulan dirinya tinggal di London bersama omanya. Isyana menghela nafas lelah dan meletakkan bulpoint secara kasar. Kepalanya menenggak, menatap langit-langit kamarnya yang nampak sederhana. Ada perasaan sesak bercampur sakit yang menghantam dadanya. Isyana merindukan keluarganya di Indonesia.
Mematikan lampu belajarnya setelah sebelumnya melipat kertas HVS berisikan sebuah puisi yang dia buat beberapa saat yang lalu lalu menyimpan ke dalam laci. Isyana beranjak dari duduknya dan mulai melangkah menuju ke ranjang yang hanya muat untuk dirinya seorang saja. Mulai merebahkan tubuhnya dengan perasaan yang masih menahan sesak yang teramat, dirinya merindukan seseorang yang dirinya tulis dalam puisi.
Baru saja matanya terpejam beberapa detik, suara dering dari ponsel yang dia simpan di atas laci kecil samping ranjangnya membuat Isyana terpaksa harus kembali membuka mata. Bangun dari posisinya yang sudah rebahan, Isyana merogoh benda tersebut dan alangkah terkejutnya saat netranya menangkap kontak dengan nama seseorang kini meneleponnya.
Kontak dengan nama Ayah nampak mengambang menyuruhnya untuk segera mengangkatnya. Namun, bukannya menggeser icon hijau pada layar ke atas, Isyana malah melongo di tempatnya bak seseorang yang shock. Dirinya sampai mengucek matanya berulang kali dan diakhiri dengan menampar pipinya sendiri, memastikan jika semua ini bukanlah mimpi.
"Aww.", ringisnya karena rasa sakit yang menjalar di pipinya akibat tamparan yang dirinya lakukan sendiri. Sempat terdiam beberapa saat sebelum Felycia menjerit tertahan saking senangnya. Jika dirinya merasakan sakit saat ditampar oleh dirinya sendiri tadi, itu artinya sekarang dirinya tengah sadar dan bukan tengah ada di alam mimpi. Ayahnya benar-benar meneleponnya.
Hendak akan menggeser icon hijau ke atas, namun panggilan terhenti. Rupanya, Isyana terlalu lama mengulur waktu untuk menjawab telepon dari ayahnya. Helaan nafas kecewa terdengar seolah Felycia sudah melewatkan rezeki begitu saja. Namun, kekecewaannya tak berangsur lama, karena beberapa detik kemudian, kembali terdengar dering dan kembali masuk sebuah panggilan dari kontak yang sama, membuat Isyana segera saja menggeser icon hijau tersebut dengan antusias.
"Hallo ayah."...
Isyana memulai percakapan karena merasa jika di seberang sana, ayahnya sama sekali tak berniat mengawalinya walau hanya dengan sebuah sapaan.
"Putri ayah apa kabar?"...
Tepat setelah mendengar pertanyaan dari seberang sana dengan nada yang lembut membuat air mata jatuh mengalir dari pelupuk mata Isyana. Suara itu, suara yang penuh dengan kelembutan, suara yang sudah lama sekali tak dirinya dengar, suara yang sangat dirinya rindukan.
"I-Isyana baik. Ayah gimana?"...
"Ayah baik, Sya."...
"Alhamdulillah... Syana kangen ayah."...
Isyana mengatakan itu sambil menggigit bibir bagian bawahnya karena takut akan menyinggung perasaan ayahnya. Namun, jawaban dari sang ayah membuat Isyana refleks membukakan mulutnya saking shock dan tak percaya dengan apa yang terjadi sekarang.
"Ayah jauh lebih kangen kamu, Sya."...
Tak ada respon apa-apa dari Isyana. Rupanya, Isyana masih shock dan tengah berusaha menenangkan dirinya sendiri yang semakin menangis haru.
Mendengar isak tangis samar-samar, membuat di seberang sana, tepatnya di sebuah kamar di kota Bandung, Indonesia, dahi Adit mengernyit. Dirinya langsung mengkhawatirkan keadaan putri semata wayangnya yang tengah di negeri orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teacherzone
Fiksi Remaja"Jilat ludah sendiri" sepertinya memang benar adanya ya? Terbukti dengan kisah yang dialami remaja bernama Felycia Agneza Pandjaitan yang sudah berkata tak akan mungkin jatuh cinta pada Rofi Andriawan yang merupakan guru baru Bahasa Indonesia di sek...