24.Baikan

25 2 0
                                        

Rofi tak bisa untuk berhenti tersenyum sejak beberapa menit yang lalu. Saat ini, dirinya tengah menikmati ukiran swastamita di luasnya ambara sambil sebelah tangannya menempelkan benda pipih berlogo apel digigit di telinganya. Hanya terdengar decakan dan dengusan saja dari seseorang di seberang sana, tapi entah kenapa hanya hal seperti itu saja sukses membuat Rofi senang bukan kepalang.

Kekehan ringan berulang kali menguar dari mulutnya saat di seberang sana, Felycia terdengar kesal akan gombalannya.

"Ck, udahan ah gombal basinya, asam lambung saya bisa-bisa naik lagi. Pak Rofi ngapain nelepon?"...
Terdengar suara Felycia dengan nada kesal di seberang sana. Sementara itu, orang yang membuat Felycia kesal malah semakin terkekeh, merasa lucu dengan tingkah Felycia.

"Basi apa salting?"...
"Gimana? Udah mendingan? Besok berangkat sama saya aja ya."...
Belum sempat Felycia menjawab akan menerima atau tidaknya atas tawaran yang diberikan oleh Rofi, gurunya tersebut sudah lebih dulu memutuskan secara sepihak.

"Harus, gak ada penolakan. Ayah sama mamah juga pasti setuju."...

"Pak Rofi gak usah panggil orang tua saya pake sebutan ayah mamah deh, geli, kayak yang ada hubungan aja."...

"Lah, kan emang ada, hubungannya tuh besanan sama orang tua saya."...

"Terserah, malah makin ngelantur. Saya tutup aja deh, bener-bener mual lama-lama."...

"Ya sudah, istirahat, supaya besok sehat dan fresh. Cepat sembuh, Cia."...

Terdengar deheman dari seberang sana sebagai respon atas ucapan Rofi. Panggilan berakhir dengan Rofi yang menekan tombol merah tanda mengakhiri sambungan. Menyimpan benda pipih yang sekitar lima belas menitan yang lalu dirinya tempelkan di telinga tersebut di atas meja. Matanya meneliti tiap sudut langit indah di sore ini. Perpaduan warna yang kontras membuat Rofi segera mengambil lagi handphone yang baru saja dirinya simpan dan memotret lukisan alami karya Sang Pemilik Kehidupan.

*****

Malam hari, Rofi nampak ke luar dari kamarnya, menuruni anak tangga satu persatu yang ada di rumahnya.
"Mau ke mana bang?", tanya Angkasa yang baru saja kembali setelah mengambil beberapa cemilan dari dapur.
"Ke supermarket.", jawab Rofi tanpa memberhentikan langkahnya.

"Mau ngapain?", Angkasa rupanya masih belum puas dengan jawaban yang diberikan oleh Rofi. Pertanyaan yang diajukan oleh adiknya kali ini, sukses membuat Rofi memberhentikan langkahnya dan menoleh, menatap datar sang adik yang tengah menatap polos ke arahnya.

"Kira-kiranya kalau ke supermarket mau ngapain? Masa iya abang mau nyangkul di supermarket.", jawab Rofi dengan muka yang malas. Pertanyaan adiknya tersebut sangat retoris sekali pikirnya.

"Nah, kan kalau ke supermarket pastinya mau jajan, kalau gitu lo harus jajanin gue bang sebagai abang yang baik.", rayu Angkasa dengan cengiran khasnya membuat Rofi mendengus geli di tempatnya.

"To the point aja kamu minta jajan.", jawab Rofi kemudian kembali melanjutkan langkahnya yang tadi terhenti. Sementara itu, Angkasa cekikikan di tempatnya, merasa puas karena berhasil membuat abangnya tersebut kesal.

Supermarket yang berada tak jauh dari rumahnya menjadikan Rofi hanya bermodalkan kedua kaki saja, tanpa kendaraan. Tak sampai dua menit, kini dirinya sudah berhasil masuk ke dalam supermarket yang ber-ac.

Mengambil keranjang yang akan memuat belanjaannya, Rofi berjalan menuju ke rak-rak keperluan-keperluannya yang akan dirinya beli.

Tanpa melihat harga, tangannya memasukkan aneka cemilan ke dalam keranjang belanjaannya. Walau kesal, tak urung Rofi tetap kasihan dan ingat pada sang adik di rumah. Definisi abang idaman.

TeacherzoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang