Ibu Mertua

378 47 0
                                    

Waktu terasa cepat sekali berlalu jika kalian menikmatinya, dan sepertinya Ruby terlalu menikmati sisa waktunya di Bali.

Tidak terasa waktu satu minggu mereka habis begitu saja dan mereka sedang di dalam taksi menuju rumah Axel. Sesuai permintaan Nyonya Marco, kali ini Ruby akan tinggal di rumah mertuanya setelah hampir tiga bulan tinggal bersama orang tuanya setelah ia menikah.

Setelah melewati gerbang dan beberapa belokan, taksi mereka berhenti di depan rumah Axel. Suaminya itu tampak lebih bersemangat, mungkin dia sendiri sangat merindukan rumahnya.

"By, kamu langsung masuk aja, nanti aku yang turunin barangnya," perintah Axel, yang tentu saja langsung dituruti oleh Ruby bahkan jika ia tidak menyuruhnya sekalipun dia akan melakukan hal tersebut.

Ruby baru saja melangkahkan kakinya di halaman rumah saat dirinya sudah berada dalam pelukan erat ibu mertuanya. Dia balas memeluk, tapi tidak sekuat Nyonya Marco tentu saja.

"Akhirnya kamu datang ke sini juga," ujar Nyonya Marco, membuat Ruby sedikit malu karena dia baru menginjakkan kaki beberapa kali di rumah ini setelah ia menikah.

"Iya, Mom. Maaf baru bisa menginap di sini lagi," tukas Ruby sambil mengusap lengannya. Ia melakukannya tiap kali merasa tidak enak kepada seseorang.

"Bukan menginap tapi tinggal," Nyonya Marco memperbaiki ucapan Ruby, lalu menggandeng lengannya dan menyeretnya masuk ke dalam rumah, meninggalkan Axel untuk mengurus barang-barang mereka.
***



Bau masakan membuat seorang laki-laki bangun dari tidurnya. Mengandalkan hidung dan ingatannya, dia berjalan menuju dapur dengan mata sayu dan beberapa kali menyenggol perabotan disepanjang perjalananya.

Di dapur, dua orang wanita sedang asyik mengolah rempah-rempah dan daging untuk menjadi menu utama makan malam mereka. Yang paling tua menjadi koki, sementara yang lainnya menjadi asistennya. Mulut mereka sibuk berbicara, sedangkan tangan mereka juga tidak berhenti bekerja.

"Akhirnya ada yang bantu Mama memasak" celetuk Nyonya Marco. Dia sedang menumis bumbu yang sudah dihaluskan dengan blender oleh Ruby.

Ruby tersipu malu mendengarnya. Dia memang sering membantu ibunya memasak di rumah, tapi karena dia baru saja keluar dari rumah sakit saat kembali ke rumahnya, ibunya melarangnya untuk menginjakkan kaki di dapur rumah mereka kecuali untuk makan atau mengambil air minum. Setelah ia benar-benar sembuh, baru ibunya mengijinkannya untuk membantunya.

Tanpa menimbulkan suara, Axel mengendap-endap mendekati istrinya dan memeluknya dari belakang. "Masak apa, nih?" bisiknya tepat di telinga Ruby.

Ruby menahan jeritannya saat menyadari bahwa itu perbuatan suaminya sendiri. "Jangan suka bikin kaget, deh." Dia memukul tangan Axel yang melingkar di perutnya dengan sendok yang ia gunakan untuk mencoba masakan ibu mertuanya.

Axel hanya terkekeh. Dia memonyongkan bibirnya, meminta ciuman, tapi yang ia dapatkan hanya ocehan dari ibunya dan mengusirnya dari dapur.
Namun bukan Axel namanya jika dia tidak membuat mereka kesal dengan kejahilannya. Dia menolak untuk pergi dan terus mengikuti pergerakan Ruby.

"El! Ruby-nya jangan diganggu dulu. Dia lagi bantu mama," tegur ibunya. Spatula yang ia gunakan untuk mengaduk makanan yang ia tumis sudah terangkat setinggi kepalanya sebagai ancaman.

"Aku mengganggu, By?" tanya Axel. Dia masih memeluk Ruby sambil menggerakkan tubuh mereka seolah sedang berdansa.

Ruby mengangguk, dan mengatakan kalau Axel memang mengganggunya, sedikit.

Axel sekali mencium pipi istrinya, kali ini hingga menimbulkan suara yang bisa didengar oleh ibunya yang berdiri kurang dari satu meter dari mereka, sebelum melarikan diri karena ibunya sudah mengayunkan spatulanya dan hampir mengenai kepalanya.

"Kamu nggak boleh tidur sama Ruby malam ini!" teriak Nyonya Marco.

Axel kembali ke dapur rumahnya, tapi kali ini menjaga jarak yang aman dan berdiri di ambang, lalu berkata, "Mom nggak mau punya cucu?"

"Hanya menundanya satu hari. Tidak masalah," kata Nyonya Marco sambil mengangkat bahunya, cuek.

"...." Axel ingin mengatakan sesuatu, namun segera mengurungkan niatnya begitu melihat ayahnya duduk di meja makan. Dia tau kalau ucapan ibunya itu hanya gertakan, tapi siapa yang tahu. Dia juga tidak mau ancaman ibunya menjadi kenyataan. Tidur tanpa Ruby di sisinya tidak ada dalam rencananya dalam waktu dekat atau selamanya.
***



"Sayang?"

"Hm?"

"Hari ini kita jadi cek rumah, kan?" Ruby mengoleskan body lotion ke lengannya.

"Jadi. Kita pergi habis ini," Axel menggoyangkan lengannya, meminta Ruby untuk melakukan hal yang sama untuknya. "Kamu izin nggak masuk kantor, 'kan?"

Ruby mengangguk. "Aku udah telepon Papa, kok," katanya.

Hari ini mereka sepakat untuk mengecek keadaan rumah baru mereka. Pemilik perumahan tersebut menelpon Axel saat mereka masih di Bali dna mengatakan bahwa rumah mereka sudah siap untuk diisi dengan barang. Jadi hari ini, Ruby menuntut untuk melihatnya agar dia tahu apa saja yang harus mereka beli agar rumah mereka benar-benar bisa dihuni.

Mereka sedang bersiap-siap saat Nyonya Marco datang dan mengetuk pintu kamar Axel. "Kalian jadi liat rumahnya?" tanya Nyonya Marco. Dia memperhatikan pasangan muda dihadapannya. Ruby sedang membantu Axel memasang kemejanya kali ini.

"Jadi, Mom. Mau ikut, nggak?" Ruby menawarkan.

Ibu mertuanya tersenyum mendengar tawaran dari menantunya itu. "Itu yang Mom tunggu," katanya. Ia kemudian memamerkan baju yang dikenakannya untuk memberi tahukan bahwa ia sudah sangat siap untuk pergi.

Beberapa menit kemudian, mereka bertiga sudah berada di tengah-tengah kemacetan jalan raya. Dua wanita yang menjadi penumpangnya asyik mengobrol tanpa melibatkannya dengan alasan karena dia sedang mengemudi. Mendengarkan obrolan mereka berdua seperti mendengarkan podcast ibu-ibu yang sedang merencanakan rumah impian.

Nyonya Marco menyuruh Ruby untuk mengecek harga barang-barang yang pasti akan mereka beli, seperti tempat tidur, satu set sofa, pendingin ruangan, kulkas, kompor, lemari baju dan meja makan. Tidak lama kemudian Ruby menyodorkan ponselnya kepada ibu mertuanya untuk mengecek sendiri harganya, namun karena huruf dan angka yang terlalu kecil dia meminta Ruby untuk membacakannya. Satu persatu Ruby menjelaskan bentuk, bahan dan harga dari barang yang mereka cari. Semakin panjang pembicaraan mereka, semakin Axel ingin memijat pelipisnya.

"Itu harga yang paling mahal atau...?" Axel tidak melanjutkan pertanyaannya, berharap Ruby atau ibunya mengerti apa yang ia maksud.

"Itu harga yang tertera di toko online dari beberapa toko perlengkapan rumah, Sayang. Kita nggak harus beli yang paling mahal, tapi yang paling bagus biar awet. Iyakan, Mom?" Ruby meminta persetujuan dari ibu mertuanya yang tentu saja menyetujuinya.

"Paling bagus bukannya sudah pasti mahal, ya?" gumam Axel. Tapi, kedua penumpangnya tidak mendengarkan ucapannya itu.

Begitu memasuki area perumahan, Axel melambatkan laju mobilnya. Penampilan perumahan ini sudah sangat berbeda sejak dia datang. Jalanan yang dulu hanya ditutupi timbunan tanah yang masih dalam proses pemadatan, kini sudah tertutupi dengan paving blok. Bangunan rumah juga sudah banyak yang selesai, bahkan sudah ada yang menghuninya, dan yang membuat Ruby senang, taman yang dulu belum dibuat kini sudah ditanami beberapa pohon dan semak serta beberapa jenis bunga yang terlihat sedikit layu, mungkin karena akarnya belum tumbuh dengan baik.

Axel menghentikan mobilnya di depan rumah mereka yang kini sudah selesai dikerjakan. Ruby dan ibu mertuanya segera turun, sementara Axel menyusul kemudian.

Pak Sam, sang pemilik perumahan, menyambut mereka dan sekali lagi menemani mereka untuk berkeliling. Dia sudah melakukan ini ratusan kali karena ini bukan perumahan pertama yang ia bangun. Walaupun dia mempekerjakan beberapa orang yang bertugas untuk memasarkan rumahnya tapi dia tidak sungkan untuk turun langsung dan melayani calon pembelinya.

Nyonya Marco tampak mengangguk-anggukkan kepalanya begitu memasuki rumah baru anaknya. Dengan teliti dia mengecek satu persatu ruangan yang ada, mengetes lampu yang terpasang apakah bisa dinyalakan atau tidak, memutar kran air dan mengecek apakah air yang keluar sudah jernih. Begitu sesuai dengan apa yang ia inginkan dia, mengangguk satu kali kepada Ruby, tanda bahwa rumah baru mereka sudah lulus dari uji standar yang ia buat sendiri.





* * * * *



HORMONES: Married Life [JENLISA | GB]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang