Good instict

604 106 12
                                    

🕵️‍♀️👨‍💼

Suara sorakan dari dalam ruang olahraga menyita perhatian Klarisa. Ia berhasil masuk ke kawasan sekolah demi bertemu Marcela. Rasa penasarannya tak bisa dibendung begitu saja.

Pintu bercat hijau ia dorong, di dalam terlihat belasan anak remaja berlatih memandu sorak bersamaan dengan tim ekskul basket yang menjadi penonton.

Klarisa melangkah tegap, kepalanya lurus ke depan tapi lirikan mata memindai sekitar dengan jeli.

"Hai, Marcela yang mana ya?" Langsung Klarisa bertanya ke segorombol anak remaja yang sedang berlatih formasi.

"Ya, saya. Ada apa, Mbak?" Wajah judes langsung ditangkap sorot mata Klarisa. Ia tersenyum, lantas mengakal Marcela bicara.

"Langsung aja di sini. Ngapain mau ngomong sampe di luar segala!" ketusnya. Ya baiklah, Klarisa sudah berbaik hati. Ia keluarkan buku catatan dan pulpen seperti biasa.

"Kemana Davina pergi? Dia menghilang satu minggu, kan?" Tatapan Klarisa mengedar, tak hanya ke Marcela yang tampak santai.

"Dia lagi dia lagi. Mana saya tau, Mbak! Mbak polisi! Nggak usah deh tanya-tanya! Dari kemarin dua polisi tanya ke saya juga! Kenapa semua nyudutin saya!" bentak Marcela.

"Karena kamu yang sering ada masalah sama Davina. Pasti dong, kamu yang diincar." Argumen Klarisa langsung on point!

Marcela tertawa sinis. "Tapi saya nggak tau Davina kemana! Boleh cek semuanya! Kemana saya hari itu, apa saya sama Davina!" Kedua mata Marcela melotot. Klarisa senyam senyum.

"Gery, apa dia ada di sini?"

Marcela diam, dari kedipan mata yang lebih cepat beberapa kali dari kedipan saat tak ada sesuatu yang membuat panik, Klarisa tau Marcela terkejut saat ia bertanya tentang Gery.

"Dia--"

"Saya Gery, ada apa?" Sosoknya muncul dari arah belakang Klarisa. Wah, pantas jadi rebutan, gantengnya nggak kaleng-kaleng. Selain tinggi, tubuhnya terbentuk apik dengan otot-otot yang proporsional. Ia juga memakai seragam basket sekolah.

"Cari Davina ya?"

"Iya. Kamu tau kira-kira dia di mana?" Klarisa bicara dengan keduanya. Semua orang diam, latihan terjeda karena mau menyimak juga.

"Apa Davina belum pulang sampai sekarang, Mbak?" Reaksi khawatir tertangkap dari tatapannya.

"Kalau udah ngapain saya ke sini, ya ampun ...." Klarisa menepuk keningnya. "Terakhir komunikasi kapan?"

"Delapan hari lalu, Mbak. Kita janjian di mal."

"Mal?" lirih Klarisa.

"Iya. Saya ajak Davina buat cari kado ulang tahun Mama saya." Gery menjelaskan. Marcela memutar malas bola matanya, terlihat tak suka.

"Cela, stop it! Kamu boleh benci Davina tapi jangan kayak begitu reaksinya. Teman kita hilang!" tegur Gery.

"Teman?! Teman apa!" bentaknya.

Gery sudah malas meladeni Marcela dengan segala dramanya. Ia lalu mengajak Klarisa bicara berdua, tapi Klarisa tak mau. Harus ada Marcela. Sebagai catatan, setiap reaksi Marcela bisa menjadi petunjuk baginya.

Ketiganya duduk di pinggir lapangan, Marcela menjelaskan ia benci Davina karena beberapa sebab tapi tak akan membuatnya celaka. Ia masih bisa berpikir untuk menghindar dari hukum.

"Davina bukan tipe cewek yang gampang percaya sama orang, Mbak. Kami semua kaget saat tau Davina hilang. Orang tuanya sudah saya temui juga." Gery menunduk, "apa Davina bisa baik-baik aja?"

Magnetize Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang