Kenapa menghindar?

776 119 11
                                    

🕵️‍♀️👨‍💼

Klarisa menginterogasi Cendana setelah ia dipanggil Ijal dan Audrina. Mereka menanyakan siapa yang mengaku bapaknya Cendana sampai datang ke sekolah.

"Orangnya kayak gimana, Dana?" Klarisa duduk sambil menemani Cendana mewarnai di buku gambar.

"Mmm, ganteng. Tinggi. Keren. Bu, Bapak mau pulang." Cendana bicara masih asik mewarnai sambil bicara.

"Namanya?" cecar Klarisa. Cendana mengangkat kedua bahunya, ia tak tau. "Bukan Om Akbar, kan?"

"Bukan, lahhh, Bu. Kalau Om Akbar kurang ganteng."

Klarisa menepuk keningnya. Ia lantas meminta Cendana tidur karena sudah malam. "Bu, besok tasnya Dana pake, ya," pintanya. Klarisa mengangguk. Setelah Cendana tidur, Klarisa keluar rumah secara diam-diam. Ia celingukan takut Audrina dan Ijal mengintip dari jendela kamar.

"Ngapain, Kak?" bisik Ezio hingga membuat Klarisa melompat ditempat saking terkejutnya.

"Bukan urusan lo. Masuk sana! Balik jam sepuluh. Kuliah apa nongkrong!" bisik Klarisa menegur adiknya.

"Kerja, lah. Cari duit. Lo mau ngapain? Gue gembok pintu pagernya, ya. Gue aduin ke Ay--" Mulut Ezio dibekap Klarisa.

"Diem. Besok gue kasih cepe buat bensin. Awas ngadu!" ancamnya. Ezio manggut-manggut. Klarisa menghela napas seraya menurunkan tangannya. "Darka, gue ada urusan sama dia."

"Kasus?" Ezio menebak.

"Bukan. Soal Cendana. Tolong diem ya, Zi, jangan cerita apa-apa ke Ayah Ibu. Gue mau urusan ini biar gue yang tanganin." Klarisa merapatkan cardigan yang dikenakan lalu dengan berjalan kaki keluar dari rumah.

"Jangan lama-lama. Ayah suka bangun tengah malem, nyariin Ibu biasanya."

"Hilih, paling takut ditinggal Ibu tahajud. Kayak nggak tau Bapakmu!" ketus Klarisa.

"Bapakmu juga! Yaudah sana. Emang mau ke mana, sih!" Ezio harus memastikan.

"Warkopnya Udin. Diem, ya. Awas lemes!" ancam Klarisa lagi. Ia keluar pagar, lalu berjalan cepat karena warkop ada di depan jalan raya utama berjarak lima ratus meter dari rumahnya.

Warkop yang buka dua puluh empat jam itu, Klarisa kenal betul pemiliknya dan bisa menjaga rahasia jika ia bertemu Darka. Sudah kompak karena Klarisa membantu memecahkan beberapa kasus. Salah satunya saat warkop kemalingan, ternyata pencurinya keponakannya sendiri, lalu saat ia diminta membuntuti mantan istri Udin yang selingkuh dengan sopir RT sebelas, alasan lain karena Klarisa berteman dengan ketiga anak Udin. Yang tertua satu kampus dengan Klarisa.

Darka sudah datang. Pria itu menatapnya yang masih berdiri di ambang pintu.

"Pindah ke belakang." perintah Klarisa ketus. Posisi meja di belakang memang lebih pas. Warkop itu di desain dengan nuansa rumah jadul. Udin memanfaatkan rumah yang ia beli murah sepuluh tahun lalu, jadi tak ada biaya sewa.

Kursi-kursi pun bukan berbahan plastik, tetapi kursi khas jawa jaman dulu yang terbuat dari besi. Konsepnya homie dan membuat siapa saja nyaman.

"Kenapa kamu ke sekolah Cendana," tembak Klarisa.

"Mau ketemu anakku. Apa salah?" balas Darka santai. Ia duduk bersandar dengan melipat kedua tangan di depan dada.

"Sejak kapan aku bilang dia anak kamu. Udah aku bilang dia bukan anak kamu." Kalimat terakhir diucapkan Klarisa penuh penekanan.

"Aku nggak percaya," kekeh sinis Darka. "Dia pintar, by the way. Terima kasih sudah ajari Cendana bahasa inggris. Kepintaraannya pasti menurun dari aku."

Magnetize Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang