Happy reading!
***
Skala berdiri di depan pintu rumah Tamara, tangannya sedikit berkeringat meski udara malam ini cukup sejuk. Dia memegang amplop putih yang dititipkan Bumi, perasaan campur aduk di dalam dirinya. Skala tahu betapa pentingnya surat ini, dan dia ingin memastikan Tamara menerimanya dengan baik.
Tamara membuka pintu, tampak terkejut melihat Skala berdiri di sana. "Skala, ada apa? Kok malem-malem ke sini?" tanyanya dengan senyum ramah, meski sedikit bingung.
Skala tersenyum tipis, mencoba terlihat tenang. "Hai, Ra. Gue ke sini karena ada sesuatu dari Bumi yang harus gue kasih ke lo," ucapnya sambil mengeluarkan amplop putih dari jaketnya.
"Kenapa bukan Bumi yang ngasih surat itu secara langsung ke gue?" Tanya Tamara dengan heran
Skala menghela napas pelan, lalu menjelaskan, " Bumi udah berangkat ke Spanyol, Ra. Ini surat dari Bumi. Dia minta gue buat kasih ini langsung ke lo. Dia nggak sempat ketemu lo sebelum berangkat, jadi dia nulis surat ini buat lo."
Tamara diam. Ia berusaha mencerna perkataan yang Skala ucapkan, "Maksud lo apa, Ska? Kenapa Bumi nggak ngomong sama gue kalau dia bakal pergi"
"Dia udah janji buat selalu ada di samping gue"
Tamara mengucapkan kata-kata itu dengan suara lirih, matanya menunjukkan campuran kekecewaan dan kesedihan. Dia merasa terluka karena Bumi pergi tanpa memberitahunya langsung, padahal mereka memiliki ikatan yang begitu kuat.
Skala menatap Tamara dengan rasa iba, merasakan betapa dalam perasaan Tamara terhadap Bumi. "Gue ngerti perasaan lo, Ra. Bumi nggak mau lo merasa ditinggalkan. Dia tahu kalau bilang langsung, perpisahannya bakal lebih sulit buat lo," ujar Skala dengan lembut.
"Tapi gue masih nggak ngerti. Kenapa dia nggak bilang apa-apa? Gue cuma pengen tau kenapa dia pergi," katanya, suaranya mulai terdengar serak karena menahan emosi. Tamara menunduk, menatap amplop putih di tangannya.
" Bumi bilang ke kita kalau dia nggak mau nambah beban pikiran lo, Ra," ucap Skala dengan nada menenangkan.
"Dia yakin lo akan lebih baik tanpa harus terikat dengan rasa sedih karena kepergiannya."
Tamara terdiam, mencoba mencerna semua yang dikatakan Skala. "Jadi, dia pikir pergi tanpa pamit lebih baik buat gue?" tanyanya, mencoba memahami sudut pandang Bumi. "Tapi sekarang gue malah ngerasa lebih hancur karena nggak tau apa-apa."
Skala menatap Tamara dengan penuh simpati. "Gue ngerti, Ra. Dan gue yakin Bumi juga nggak mau bikin lo ngerasa kayak gini. Mungkin dia cuma nggak tahu cara terbaik buat ngungkapin semua perasaannya," jawab Skala yang menatap perempuan di hadapan nya ini dengan tatapan simpati.
"Bumi berharap lo bisa ngerti kenapa dia milih cara ini setelah lo baca suratnya."
Tamara menatap amplop di tangannya dengan perasaan campur aduk. Dia merasa sedih, kecewa, dan penasaran sekaligus.
"Oke, gue bakal baca surat ini. Gue harap gue bisa ngerti kenapa Bumi pilih cara ini," ucapa Tamara pelan, suara pelannya menunjukkan betapa dalam perasaan kehilangan nya
Skala memberikan tepukan lembut di bahu Tamara. "Gue di sini kalau lo butuh seseorang buat diajak ngobrol, Ra."
Tamara tersenyum tipis, meski air matanya sudah mulai menggenang. "Makasih, Skala. Gue hargain itu," katanya sebelum menutup pintu dengan lembut, meninggalkan Skala berdiri di depan rumah.
Saat Tamara masuk ke dalam rumah, dia merasa berat di hatinya. Amplop putih itu kini terasa lebih berat dari sebelumnya, penuh dengan kata-kata yang belum terungkap, dia melangkah ke kamarnya, siap untuk membaca surat dari Bumi dan mencari jawaban atas pertanyaannya.
***
Guntur menghentikan motornya di tepi jalan saat tidak sengaja melihat seorang gadis cantik yang berdiri di depan mini market seorang diri. Dia mengerutkan kening, mencoba mengenali wajah gadis itu di bawah cahaya lampu jalan yang redup.
"Kanaya? Ngapain 'tuh cewe keluar malem-malem gini?" gumamnya dalam hati.
Rasa penasaran membuatnya ragu sejenak sebelum memutuskan untuk menghampiri Kanaya. Dia mematikan mesin motor dan melepas helmnya, kemudian berjalan menuju gadis itu dengan langkah hati-hati.
"Naya? Lo ngapain berdiri disini malam-malam?" tanyanya dengan nada santai
Kanaya tersentak kaget saat ia mendengar suara yang tidak begitu asing di telinganya. Ia berbalik dan melihat Guntur yang berdiri di sana dengan helm di tangan. Untuk sejenak, ia terdiam, memandang Guntur dengan tatapan kosong sebelum akhirnya menghela napas lega.
"Kak Guntur... lo buat gue kaget aja!" katanya, masih sedikit terkejut. Ia berusaha tersenyum, meski senyum itu terlihat agak canggung.
"Gue cuma keluar sebentar, ada yang harus gue belli tadi, tapi pas gue mau pulang taxi nggak ada yang lewat," lanjut Kanaya menjelaskan situasi nya.
"Lo sendiri, Kak, kenapa masih keluyuran malam-malam gini?" tanya Kanaya, penasaran.
Guntur tertawa mendengar pertanyaan Kanaya,"Gue tadi habis dari markas Legion," jawabnya sambil tersenyum.
"Ada sedikit urusan yang harus diselesaikan,"
Kanaya mengangguk, "Oh, jadi gitu. Gue pikir setelah masa jabatan lo habis, lo nggak mau lagi kesana"
"Nggak gitu juga, Nay. Geng Legion itu udah kayak rumah kedua buat gue dan sahabat-sahabat gue"
Kanaya mengangguk setuju dengan ucapan Guntur. Meskipun dia tidak begitu mengenal anggota geng Legion, dia sangat mengagumi rasa kekeluargaan yang ada di dalam geng motor tersebut. Meskipun geng motor seringkali dikaitkan dengan hal-hal negatif, ia melihat sisi lain yang penuh rasa persaudaraan dan solidaritas. Karena Legion merupakan geng motor terbesar yang memiliki tujuan dan karakteristik yang sama.
"Jadi ngobrol gini kita, lo mau gue anterin pulang, Nay? Daripada nungguin taksi yang nggak jelas kapan lewat," ucap Guntur menawarkan.
Kanaya terdiam sejenak, memikirkan tawaran Guntur. Ia merasa sedikit canggung menerima tawaran dari orang yang tidak begitu akrab dengan nya, namun di sisi lain ia tidak ingin menunggu lama di pinggir jalan.
"Ya... boleh deh," jawab Kanaya akhirnya dengan senyum kecil. "Tapi beneran nggak ngerepotin, kan?"
"Nggak kok, santai aja," balas Guntur sambil tersenyum, "Gue juga nggak ada urusan mendesak, jadi bisa antar lo pulang."
Mereka berdua pun berjalan menuju motor Guntur yang diparkir tidak jauh dari situ. Guntur memberikan helm cadangan kepada Kanaya. Setelah memakainya, Kanaya merasa sedikit lebih nyaman.
"Siap?" tanya Guntur sambil menyalakan mesin motornya.
Kanaya mengangguk, "Siap, kak"
Guntur menoleh ke arah belakang, "kalau udah siap kenapa nggak pegangan?" tanya Guntur dibalik helm full face nya
Kanaya menggigit bibir bawahnya, ia merasa dejavu dengan kata 'pegangan' yang diucapkan oleh Guntur. Ucapan yang sama yang diucapkan Bumi waktu itu. Kenangan itu seperti bayangan samar yang kembali muncul, mengingatkan dia pada momen ketika Bumi juga memberinya instruksi serupa saat laki-laki itu ingin mengantar nya pulang.
Dengan cepat Kanaya sadar dari lamunan nya, ia memegang kedua sisi jaket yang di gunakan Guntur.
"Udah kak!"
"Hari-hari dejavu" batin Kanaya
●●●●
Siapa yang penasaran dengan isi surat Bumi untuk Kanaya?
Chapter selanjutnya tungguin ya, karena tinggal beberapa part lagi cerita ini akan selesai
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi
Teen Fiction[[ 𝗰𝗼𝘃𝗲𝗿 𝗯𝘆 𝗽𝗶𝗻𝘁𝗲𝗿𝗲𝘀𝘁 ]] Dia Bumi, Bumi Lantang Dhanajaya. Siapa yang tidak mengenal dirinya? Berasal dari keluarga yang terpandang, ketua geng motor, sekaligus Ketua OSIS di sekolah nya, dan soal wajah kalian semua tidak perlu mera...