4. Tiga Pembully

6 3 0
                                    

Theodore menatap sinis pada tiga anak yang masih terkekeh pelan, bahkan mengabaikan kedatangan guru yang saat ini sudah mulai menuliskan materi pada papan tulis, setelah menyapa seluruh murid di kelas dengan singkat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Theodore menatap sinis pada tiga anak yang masih terkekeh pelan, bahkan mengabaikan kedatangan guru yang saat ini sudah mulai menuliskan materi pada papan tulis, setelah menyapa seluruh murid di kelas dengan singkat. Ketiga anak muda orang kaya itu bernama Leaman, Xuval, dan Jailen. Benar, mereka adalah anak yang membunuh Theodore semalam.

"Hey Theo," bisik Wisley di bangku samping Theodore.

Theodore hanya melirik tanpa menjawab panggilan itu sama sekali. Dia hanya berpikir kenapa orang itu mau berteman dengannya, atau karena Theodore tidak menganggapnya buruk dengan tubuh gendutnya? Dia tidak terlalu tahu. Lihat saja, dia pun terkena kenakalan anak-anak yang sudah keterlaluan.

"Apa aku salah lihat jika kamu menatap sinis mereka?" lanjut Wisley dengan suara berbisik agar tidak terdengar oleh orang lain. Theodore hanya mengangkat kedua bahunya. Kemudian mengacuhkan Wisley dan menyibukkan dirinya pada pelajaran di depan sana.

"Kenapa aku harus mempelajari semua ini?" keluh Theodore sambil terus menulis dengan taat.

Setelah dua jam berada di kelas membuat pegal tubuh Theodore karena harus berdiam diri dengan kursi yang begitu keras. Kemudian hal yang paling menyebalkan adalah menyimak pembelajaran yang membosankan, sehingga membuatnya mengantuk.

"Kenapa aku melakukan ini? Sial," gerutu Theodore setelah keluar dari kelas.

Wisley di sampingnya justru langsung mengernyit mendengar ucapan temannya itu, kalimat yang nyaris tidak pernah dia dengar sebelumnya. Karena bagi Wisley, Theodore adalah anak yang rajin, dan tidak pernah mengeluh akan pelajaran yang dibawakan guru.

"Kenapa kamu?" tanya Wisley bingung.

"Apa?" Theodore justru bertanya balik, sambil menatap Wisley. Itu membuat Wisley tercengang, mulutnya terbuka hendak berbicara, tapi detik berikutnya dia bungkam bersama helaan napasnya yang kasar.

"Lupakan, kamu terlihat sangat aneh. Apa kepalamu terbentur, sampai kamu seperti ini?" ungkap Wisley dengan suaranya yang lirih, seolah menampilkan sebuah kekecewaan atau sejenisnya.

"Benarkah? Tapi, kau akan mulai terbiasa," balas Theodore begitu tenang.

"Ini dia! Sangat aneh, dari segi cara bicaramu.  Apa benar kamu baik-baik saja?" tanya Wisley lagi dengan wajah sok cemas pada Theodore.

"Tentu, mereka tidak akan pernah bisa berlebihan lagi!" Wisley sekarang justru memijat kedua pelipisnya, rasanya cukup penat hanya untuk memikirkan sikap temannya itu, hingga akhirnya memilih untuk tidak berpikir.

"Wisley, pergilah dulu saja. Aku ingin ke WC sebentar," ucap Theodore sambil menghentikan langkah kakinya.

"Baiklah, jangan lama-lama ya!" sahut Wisley meneruskan jalannya seorang diri untuk makan di kantin. Sedangkan Theodore berbelok menuju WC. Sebenarnya bukan WC yang dia tuju, tapi sosok tiga anak yang tadi diam-diam memberi instruksi untuk mendatanginya.

Immortal and The Beast Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang