24. kabar Kematian

3 1 0
                                    

"Bagaimana bisa? Kamu hanyalah anak biasa yang miskin, yang bahkan ibumu ini tidak bisa memberikanmu makanan enak! Tapi bagaimana bisa kamu memiliki pelayan! Aku tahu jelas anakku seperti apa!" Bailey terdiam setelah mengatakan itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bagaimana bisa? Kamu hanyalah anak biasa yang miskin, yang bahkan ibumu ini tidak bisa memberikanmu makanan enak! Tapi bagaimana bisa kamu memiliki pelayan! Aku tahu jelas anakku seperti apa!" Bailey terdiam setelah mengatakan itu. Lengannya gemetar dengan pelan, lalu melirik Allita yang hanya menundukkan wajahnya.

"Allita, katakan pada Ibu," ucap Theodore melirik Allita dengan wajah yang tidak menunjukkan ekspresi Apa pun.

Mendengar itu Allita langsung mengangkat wajahnya dengan mata bergetar. "Tapi Kak!" Dia tidak bisa berbicara saat menatap mata Theodore. Dia berpikir dua kali lipat, kembali melirik ibunya yang juga tengah memandanginya.

"Apa? Ada apa? Apa kalian menyembunyikan sesuatu dari Ibu?" tanya Bailey menatap bergantian pada kedua anaknya itu.

"Tidak apa Allita, aku rasa ini sudah waktunya. Aku tidak ingin menyembunyikannya lebih lama lagi, atau itu akan menyakiti hati ibumu." Theodore menyentuh pundak Allita dengan lembut, lantas berjalan pelan melewati tubuh Allita yang mematung.

"Setelah mengatakannya, Ibu bisa mendatangiku untuk mengetahui semuanya," lanjut Theodore yang kemudian menjauh dan meninggalkan ruangan tersebut bersama Efrain yang mengikutinya dari belakang.

"Efrain, tunjukan di mana ruanganku!"

"Ya, Master. Mari!" Suara keduanya menghilang setelah meninggalkan ruangan tersebut. Menyisakan Allita dan Bailey dalam suasana hening dan bingung.

"Allita, katakan pada Ibu! Ada apa sebenarnya ini? Kenapa kakakmu bersikap seperti itu?" tanya Bailey yang menatap Allita dengan mata berkaca-kaca. Seolah insting keibuannya tengah memberitahu sesuatu yang membuatnya ketakutan untuk mendengar apa yang akan putrinya katakan.

"Dia bukan Kak Theo!" Hanya dengan kalimat itu membuat Bailey mematung dengan tubuh yang sedikit bergetar. Dia menggelengkan kepalanya beberapa kali dengan bibir bergetar, namun tidak mampu mengeluarkan suaranya.

"Kak Theo sudah lama mati," lanjut Allita menghancurkan hati Bailey hingga tubuhnya terjatuh ke lantai. Air matanya jatuh dengan kepala yang terus menggeleng beberapa kali.

"Apa yang kamu katakan Allita? Jika kakakmu sudah mati, dia siapa?" tanya Bailey dengan suaranya yang bergetar. Allita menundukkan wajahnya, dia meremas rok yang dikenakannya.

"Aku berkata benar Bu. Dia adalah immortal yang hidup 100.000 tahun lalu, mendiami tubuh Kak Theo. Kak Theo sudah mati oleh Jailen dan teman-temannya." Dia melihat ibunya menangis, lantas langsung memeluk tubuh gemetar Bailey.

"Tidak, tidak, bagaimana mungkin. Tidak ada immortal di dunia ini, itu hanya dongeng!" Benar, manusia sekarang tidak mempercayai keberadaan mahkluk abadi seperti itu. Tetapi, bukan berarti semua manusia, hanya sebagian kecil saja yang mengetahuinya dan memilih diam karena dunia mereka tidaklah sama dengan para immortal.

"Tinggalkan Ibu sendiri Allita!" titah Bailey masih dengan suaranya yang bergetar dan air mata yang terus mengalir membasahi kedua pipinya.

Allita menurut, dia menjauhkan dirinya dari ibunya, lantas berlari dari ruangan tersebut. Dia berlari ke lantai dua, lalu memasuki salah satu ruangan dengan Theodore yang duduk di meja kerja dengan Efrain di belakangnya. Gadis itu menangis, sekalipun dia tidak menunjukkan wajahnya pada sang ibu.

Immortal and The Beast Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang