Thorn terus memacu motor dengan kecepatan yang mengagumkan, meluncur ke arah tempat persembunyiannya yang paling selamat. Dia tahu jalan itu dengan baik, setiap lekuk dan setiap lubang, seperti mengenali punggung tangannya sendiri.
Namun, perasaan yang menyelubungi hatinya bukanlah sekadar kecekapan seorang pembunuh upahan yang sedang melaksanakan misinya. Ayana di belakangnya, bersandar rapat, membuatkan setiap kilometer yang dilalui terasa seperti satu pengorbanan yang besar.
Setelah hampir satu jam, mereka tiba di sebuah kawasan hutan yang tebal. Jalan semakin sempit dan berliku, hampir tidak terlihat dalam kegelapan malam.
Akhirnya, di celah-celah pohon yang rimbun, sebuah kabin kayu yang hampir tersembunyi muncul di hadapan mereka. Thorn memperlahankan motor dan berhenti di hadapan kabin itu. Suasana sunyi, hanya bunyi cengkerik dan dedaunan yang bergesel dihembus angin malam menemani mereka.
"Ini dia," kata Thorn dengan suara rendah, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Ayana. Dia turun dari motor tetapi hampir jatuh. Thorn menahan ketawa melihat wanita itu menjelingnya malas.
"Hoi."
"Awak nak apa Thorn? Saya penat ni." Ayana bertanya dengan malas dan menoleh ke belakang melihat lelaki itu berhentikan langkahnya.
"Kau taknak buka helmet tu ke?" Thorn tanya lalu Ayana memegang kepalanya terus mengeluh.
'Patut berat pun kepala aku ni.'
Thorn menghampirinya lalu membuka helmet tersebut kemudian meletakkan pada gas tank motorbike miliknya dan menyamakan langkah dengan Ayana.
Mereka berdua mendekati kabin itu, Ayana merasakan kakinya sedikit gemetar akibat perjalanan yang mendebarkan tadi.
"Tempat apa ni?" Ayana bertanya, matanya melilau memerhatikan sekeliling.
"Tempat yang selamat," jawab Thorn sambil membuka pintu kabin. "Kita akan tinggal sini untuk sementara waktu. Takde siapa yang akan jumpa kita di sini."
At least that's what he thought.
Ayana mengangguk perlahan. Dia tidak tahu apa yang harus dia rasakan, antara rasa lega kerana selamat atau rasa takut terhadap apa yang akan datang. Namun, satu perkara yang dia pasti, dia mempercayai Thorn.
Setelah mereka masuk ke dalam kabin, Thorn menutup pintu dengan berhati-hati dan segera memeriksa sekitar untuk memastikan tiada perangkap atau tanda-tanda musuh telah mendahului mereka.
Semuanya tampak normal. Kabin itu sederhana, dengan perabot kayu kasar, sebuah dapur kecil, dan satu bilik tidur. Namun, ia adalah tempat yang terpencil dan selamat, jauh dari pandangan musuh.
"Baring situ," kata Thorn sambil menunjukkan ke arah sofa di sudut ruangan. "Aku nak berjaga, kalau ada apa-apa cakap dengan aku." Sebelum beredar keluar semula.
Ayana memandang belakang Thorn dengan pandangan yang penuh rasa terima kasih belum sempat untuk berkata lelaki itu telah menutup pintu.
Ayana melabuhkan badan pada sofa dengan perlahan kemudian melihat sekeliling. Terbit satu perasaan yang sukar untuk ditafsir sama ada ianya ketakutan, sedih, marah? Ataupun kesemua itu?
Apa lagi yang bakal dia lalui esok hari?
Takdir mempertemukan Thorn pada seketika waktu cukup dia berasa bersyukur namun adakah lelaki itu akan terus melindunginya? Sudah tentu tidak.
"Kenal pun tak kau expect apa Ayana," Wanita itu berkata pada dirinya dengan ketawa kecil.
"Seseorang yang takkan biarkan kau terluka, itu saja yang kau perlu tahu." Ayana mengulangi ayat lelaki itu sewaktu mereka berada di ruangan hole of fire.
YOU ARE READING
Redamancy | 𝐎𝐆
Romantizm[ sʟᴏᴡ ᴜᴘᴅᴀᴛᴇ ] #1st 𝒔𝒆𝒓𝒊𝒆𝒔 𝒐𝒇 𝑬𝒖𝒑𝒉𝒐𝒓𝒊𝒄 𝑭𝒆̀𝒂𝒕𝒉 Sometimes, the most dangerous games are the ones played with the heart. "Take my hand." "What no." Terbuntang matanya apabila jejaka itu menyuruh berbuat demikian. "Look i'm not try...