37 || Hilang.

593 48 4
                                    

Pagi hari ini bumantara turut bersedih atas kepulangannya matahari Merjasakalevin. Setelah selesai di sholatkan, jenazah Harsa langsung dibawa ke tempat pemakaman umum. Setelah melalui debat panjang antara keenamnya dan Gama, akhirnya Gama mengalah dan Harsa di makamkan ditempat yang ia inginkan.

Masih ingat dengan ini?

"Eh guys! Tetiba aja gue kepikiran." Lanjut Harsa seraya melepas pelukannya.

"Apa tuh?." Tanya Leo.

"Gini loh. Gue pengen banget kita bisa sama sama selamanya, maka dari itu, gue jadi kepikiran sesuatu. Gimana kalo misalnya satu persatu dari kita udah gak ada, tapi kita pengen bareng terus nih. Gimana kalo kita kumpul aja di liang lahat." Tutur Harsa membuat yang lainnya terkejut.

"Maksud gue tuh, makam kita berjejer gitu loh. Gimana sih cara jelasinnya? Pokoknya gitu lah." Lanjutnya.

"Ouh jadi kayak.. Kita tuh beli lahan seluas lapangan sepak bola, terus kita tempatin bareng kalo kita udah gak ada nanti, gitu?." Tanya Naka yang mulai mengerti.

"Iya gitu maksud gue teh."

"Boleh juga." Ucap Renjana.

Mereka benar-benar mewujudkannya. Soal pendonoran ginjal, jasad Harsa langsung di bawa ke ruang operasi setelah mengetes kecocokannya dengan ginjal Levyna, dan ternyata hasilnya cocok. Jadi dengan sangat tidak rela Naka harus mengikhlaskannya demi memenuhi pesan terakhir dari Harsa.

Hembusan nafas terdengar getir dari keenamnya. Dengan mata yang sembab dan tatapan kosong, keenamnya membiarkan tetesan demi tetesan air mata mengalir tanpa henti. Berkali-kali Naka terjatuh tak sadar diri dengan Gevin yang setia berada di sampingnya, isak tangis terdengar saling bersahutan di tempat penuh kepedihan dan kenangan.

Renjana membawa langkahnya yang terasa begitu hampa mendekati tempat pengistirahatan terakhir sahabat yang selalu membuatnya kesal dengan penuh rasa sesal. Kepalanya berkecamuk, pikirannya berkelana ke segala arah. Satu kata yang terbesit di benaknya, andai. Andai saja dirinya bisa menahan Harsa untuk pergi waktu itu, mungkin saat ini dirinya masih bisa bercengkrama dengan Harsa. Andai dirinya ikut bersama Harsa waktu itu, mungkin ia akan membawa Harsa pulang dengan selamat. Andai. Satu kata yang tidak akan bisa mengembalikan waktu.

"Gak elite banget lo, Sa. Tidur di tanah." Gumam Renjana ketika melihat Harsa yang diturunkan secara perlahan ke dalam tanah dengan Jovan dan Melvin yang turut membantu.

Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tujuh tahun mereka lalui dengan gelak tawa yang mengiringi setiap langkah yang di beri. Tujuh tahun lamanya mereka bersama di dalam  rumah sederhana itu, namun hari ini, canda tawa dan janji untuk tetap bersama bagaikan boomerang dalam kehidupan mereka. Hatinya hancur. Orang yang memberikan kebahagiaan di dalam rumah itu kini hilang dan menyisakan kepedihan.

Seorang laki-laki pembawa kerinduan itu terjatuh duduk bertekuk lutut di tengah-tengah keramaian yang mengantarkan bahagianya ke hadapan Tuhan. Tangis pilu yang tertahan itu terdengar begitu menyesakkan, Renjana terus menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak guna mencari pasokan udara yang terasa menipis untuk ia hirup. Perlahan tubuhnya meluruh dengan kepala yang di tundukkan, punggung rapuh itu bergetar hebat sehingga seseorang memeluknya dari samping mencoba memberi ketenangan.

"Asa!!." Jerit Renjana tertahan membuat pelukan itu terasa semakin erat.

Raga dengan berjuta harapan itu telah tertutup sempurna, harapan yang membawa kebahagiaan itu memilih untuk pergi jauh tanpa ada rasa ingin kembali kepada rumah kecilnya yang kehilangan satu cahaya. Tidurnya terlalu lelap sehingga ia enggan untuk kembali membuka mata. Jiwanya mungkin telah pergi, namun raganya akan selalu di kenang dalam sanubari.

Our HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang