୨ৎ
Seruni terbangun dengan kepala yang terasa berat, berdenyut-denyut pelan di pelipisnya. Ia mengerang dan perlahan membuka mata untuk membiarkan sinar matahari pagi menembus hi.
Pikirannya masih kabur, mencoba mengingat apa yang terjadi tadi malam. Ketika dia menyadari bahwa dirinya berada di kamarnya sendiri, matanya menyapu sekeliling ruangan dengan bingung.
Lebih lagi, kaos yang ia kenakan sekarang terasa lebih hangat dan lebih besar dari biasanya. Ia lalu segera menyadari bahwa badannya dibalut oleh sweater milik Tama.
"Sejak kapan gue pake sweater Tama?" pikirnya sambil mengerutkan kening. Ia mencoba bangkit, tapi rasa pusing yang berputar di kepalanya membuatnya kembali berbaring sejenak, mengambil napas panjang untuk menenangkan diri.
Ia pun melirik ke arah jam di meja sampingnya—yang sekarang menunjukkan pukul 6 pagi.
Setelah berhasil mengumpulkan cukup tenaga, Seruni duduk dan menghela napas panjang. Ingatan samar tentang bar, minuman, dan tangan yang menahan gelasnya tiba-tiba terlintas di benaknya.
"Tama," gumamnya pelan. Ada rasa malu yang merayap naik ke wajahnya, mengingat bagaimana Tama menjemputnya di bar tadi malam saat dia dalam keadaan setengah sadar.
Saat berjalan ke ruang tamu, Seruni melihat Tama yang sudah rapi dengan setelan kerjanya, tampak sibuk memeriksa berkas-berkas di ruang kerjanya. Masih dengan langkah setengah sadar, Seruni melangkah menuju dapur. Di meja dapur, ada sepiring roti yang sudah diolesi setengah selai dan secangkir kopi yang masih hangat.
Selama ini Seruni selalu berusaha untuk bangun lebih pagi agar bisa menyiapkan sarapan, meskipun hanya sekadar membuat oatmeal instan atau memotong buah. Tapi pagi ini, dia bahkan tidak sempat bangun lebih dulu. Sekilas perasaan bersalah menyelusup di benaknya.
Seruni mengambil beberapa buah dari kulkas—apel, jeruk, dan anggur—dan mulai mengupas apel dengan pisau. Ia menyiapkan piring baru untuk mengisi potongan buah segar, berencana untuk menambah sarapan yang sederhana itu. Saat dirinya sibuk memotong apel, suara langkah kaki Tama terdengar mendekat dari ruang kerjanya.
"Oh, udah bangun," ujar Tama sambil melihat ke arah Seruni, nadanya terdengar datar tapi jelas mengandung perhatian. "Apa kepala kamu sakit?"
Seruni menggeleng pelan, masih tetap fokus pada buah-buahan di depannya. "Nggak, aku baik-baik aja," jawabnya singkat, namun dalam suaranya ada rasa enggan untuk membuka pembicaraan lebih jauh.
Ia terus mengiris apel, potongan-potongan kecil mulai memenuhi piring di depannya. Suasana di antara mereka hening selama beberapa detik sebelum akhirnya Seruni memberanikan diri untuk bertanya, "Kok kamu tahu aku di bar itu kemarin?"
Sambil bersandar ke meja dapur, pandangan Tama terpaku pada Seruni sebelum akhirnya menjawab, "Aku kenal sama bartender di sana. Dia yang kasih tahu, makanya aku nyusul ke sana begitu Niranya pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Past, Present, and Us
RomanceBagi Tama dan Seruni, pernikahan tak lebih dari tameng bagi mereka. Sebuah fasad yang dirancang dengan cermat untuk mempertahankan topeng yang melindungi kehormatan keluarga mereka. Di balik tirai gemerlap kehidupan sosial, mereka mencari pelipur l...