୨ৎ
Seruni mulai terbangun saat merasakan ciuman hangat di keningnya. Perlahan, matanya terbuka, tampak buram pada awalnya sebelum fokus pada sosok Tama yang duduk di sampingnya. Tersenyum lembut sambil mengusap lembut rambutnya.
"Ini jam berapa, Mas?" Seruni bertanya dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur. Dia melirik ke jendela, melihat sinar matahari yang sudah mulai terang di luar.
Tama tersenyum lembut, jarinya mengusap pelan rambut Seruni yang sedikit berantakan. "Udah jam tujuh pagi."
Seruni langsung terlonjak bangun dari posisi tidurnya. Pikirannya berputar cepat—ia merasa bersalah karena belum menyiapkan sarapan seperti biasanya. "Lho, kok bisa bangun siang gini? Aku belum sempat siapin kamu sarapan," ucapnya dengan nada cemas. Tangannya mengusap wajah seolah berusaha sepenuhnya bangun dari rasa kantuk.
Sejurus kemudian, pikirannya melayang ke Niranya, yang semalam menginap di rumah mereka. "Niranya udah ke bandara, Mas?" tanyanya cepat.
Tama mengangguk santai, tetap dengan senyum tenang di wajahnya. "Udah, aku tadi anter dia jam empat pagi. Sekarang dia udah di pesawat, mungkin bentar lagi takeoff," katanya sambil menatap Seruni, melihat kecemasan yang samar di wajah istrinya.
Seruni terdiam sejenak, merasa sedikit bingung. Dia tidak ingat bangun terlalu malam semalam, tapi entah kenapa pagi ini dia terasa lebih lelah dan terlambat bangun.
"Kok aku bisa bangun siang gini, ya?" gumamnya, sambil menatap Tama dengan bingung. "Harusnya aku bisa bangun lebih pagi buat nemenin sama siapin sarapan buat kamu."
Tama hanya tersenyum dan mengusap punggung Seruni dengan lembut. "Kamu tidur nyenyak banget, aku nggak tega bangunin kamu."
Seruni tersenyum tipis mendengar jawaban suaminya, meski perasaan bersalahnya belum sepenuhnya hilang. Pikirannya masih terpecah—separuhnya memikirkan Niranya yang sudah pergi, sementara separuh lainnya masih dihantui oleh rahasia besar yang belum dia ungkapkan. Seharusnya tadi malam adalah waktu yang tepat, tapi keberadaan Niranya di rumah membuatnya merasa situasinya belum cocok untuk berbicara.
Tama kemudian melihat jam di pergelangan tangannya, matanya sedikit menyipit memperhatikan waktu. "Aku berangkat kantor dulu ya, udah hampir jam setengah delapan," katanya sambil berdiri, lalu membenarkan dasinya yang sedikit berantakan.
Seruni menatap Tama yang tampak sudah siap untuk hari itu, mengenakan kemeja dan dasi yang rapi. "Hati-hati di jalan, Mas," ucapnya lembut, suaranya nyaris berbisik.
Setelah Tama meninggalkan kamar, Seruni masih duduk di tempat tidur, merasa berat untuk bergerak. Seharusnya dia sudah memberi tahu Tama semalam, tapi entah mengapa rasanya ada yang mengganjal. Mungkin karena kehadiran Niranya yang membuat suasana rumah berbeda dari biasanya.
Seruni perlahan bangkit dari tempat tidur dengan langkah lambat. Ia kemudian menatap cermin di dekat tempat tidurnya, melihat pantulan wajahnya yang tampak sedikit pucat. Dia mengusap pipinya, mencoba tersenyum untuk menenangkan dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Past, Present, and Us
RomanceBagi Tama dan Seruni, pernikahan tak lebih dari tameng bagi mereka. Sebuah fasad yang dirancang dengan cermat untuk mempertahankan topeng yang melindungi kehormatan keluarga mereka. Di balik tirai gemerlap kehidupan sosial, mereka mencari pelipur l...