45

3.6K 240 21
                                    

୨ৎ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

୨ৎ

Pagi itu, Seruni tengah duduk di kursi meja makan sambil mengaduk kopi. Matanya sesekali menatap keluar jendela, menikmati keheningan pagi. Sementara itu, suara langkah Tama yang sibuk menyiapkan diri untuk berangkat kerja terdengar sesekali dari ruangan lain.

Ketika Tama masuk ke dapur, berpakaian rapi dengan setelan kerjanya, Seruni menatapnya dari balik cangkir kopi. Awalnya, ia ragu ingin berbicara. Namun, akhirnya Seruni menghela napas pelan dan memutuskan untuk mengatakannya.

"Mas," Seruni membuka pembicaraan dengan lembut, menatap Tama yang sedang merapikan dasinya di depan cermin kecil yang terletak di sisi ruang makan. Tama menoleh, tersenyum kecil ke arah Seruni, namun wajahnya segera berubah sedikit bingung ketika Seruni melanjutkan ucapannya.

"Nanti kalau kamu ke supermarket, bisa sekalian beliin buah atau apa gitu buat Niranya?" katanya perlahan.

Tama menghentikan gerakannya sejenak, menatap Seruni dengan ekspresi terkejut dan bingung. Permintaan itu benar-benar tidak disangka. Biasanya, Seruni jarang sekali mengungkapkan sesuatu yang berhubungan dengan Niranya, apalagi setelah semua yang terjadi.

Selalu ada jarak yang tidak terucapkan antara mereka ketika nama Niranya muncul dalam percakapan, tapi sekarang Seruni malah dengan tenang memintanya untuk melakukan sesuatu untuk Niranya.

"Kenapa tiba-tiba banget?" tanya Tama dengan hati-hati, mendekat ke arah Seruni yang masih duduk.

Seruni mengangkat bahu ringan, mencoba menutupi kegugupannya. "Aku nggak tahu, Mas. Mungkin aku kasihan aja sama dia. Dia pasti lagi merasa kesepian sekarang. Kita bisa kunjungi dia setelah kamu pulang kerja, bagaimana?"

Tama merasa aneh mendengar itu. Ia kemudian menundukkan kepala sedikit, seolah mempertimbangkan permintaan tersebut.

Sambil mendekat, Tama mengambil duduk di kursi sebelah Seruni, dan menggenggam tangan istrinya.

"Apa kamu yakin? Maksud aku, aku nggak mau kamu merasa nggak nyaman atau terpaksa hanya karena apa yang aku ceritakan kemarin," ucapnya dengan lembut, sambil tersenyum tipis.

Seruni menatap Tama dengan senyuman kecil, lalu menghela napas. "Aku nggak merasa terpaksa kok, Mas," jawabnya.

"Aku hanya merasa kasihan aja sama Niranya. No more than that. Aku nggak bisa bayangin betapa beratnya jadi dia, menjalani semua itu sendirian setelah kehilangan bayinya. Apalagi dia sekarang nggak punya siapa-siapa di sini, selain kamu yang tahu keadaan dia," tambahnya sambil menatap lembut ke mata Tama.

Mendengar itu, Tama mengangguk perlahan. "Okay then, kalau itu yang kamu mau" jawab Tama akhirnya. "Nanti sepulang kerja, aku akan mampir dulu ke supermarket, beliin buah atau sesuatu buat Niranya. Lalu kita pergi bersama ke apartemennya setelah aku pulang."

Seruni mengangguk puas, lalu tersenyum lebih lebar. "Terima kasih, Mas," katanya pelan, sambil menggenggam tangan Tama lebih erat.

Tama membalas senyum Seruni, dan sebelum ia beranjak pergi, ia menyempatkan diri untuk membungkuk dan mengecup bibir serta pipi Seruni dengan lembut. Sebelum berdiri, ia mengusap perut Seruni yang semakin membesar, memberikan kehangatan pada calon bayi mereka. "Kamu dan si kecil baik-baik di rumah, ya.'"

Past, Present, and UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang