28

3.1K 223 20
                                    

୨ৎ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

୨ৎ

Suasana di meja makan terasa lebih dingin dari biasanya. Padahal, udara Jakarta yang biasanya hangat menyambut, kini tidak dapat menghapus kesunyian di antara Tama dan Seruni.

Seruni duduk di ujung meja, menggigit roti panggang dengan setengah hati, matanya terus tertuju pada piring di depannya. Raut wajahnya lelah, tetapi bukan hanya karena keletihan fisik dari pindahan rumah beberapa hari ini—ada sesuatu yang lebih berat mengganggu pikirannya.

Di sisi lain meja, Tama berusaha keras untuk memahami apa yang sedang terjadi. Tama memutuskan untuk tidak membiarkan hal ini berlarut-larut.

Mereka berdua—setidaknya dirinya, butuh kejelasan. "Seruni," panggilnya, memecah keheningan yang menggantung di antara mereka. "Apa ada yang kamu bicarakan sama aku?"

Seruni tidak segera menjawab, hanya melanjutkan aktivitas makannya yang terlihat semakin terpaksa. Kopi di hadapannya sudah mulai dingin, namun ia tidak berniat meminumnya.

Alih-alih, Seruni hanya mengaduk-aduknya dengan pelan, menghindari tatapan Tama yang menelusuri wajahnya. Tama mendesah, menggeser posisi duduknya sedikit lebih dekat, berharap itu bisa mengurangi jarak yang entah kenapa terasa begitu besar di antara mereka.

"Kalau ada apa-apa, kita bisa bicarain. Jangan diemin aku gini, bikin aku bingung sendiri. Bukannya kamu yang bilang kalau terjadi sesuatu, harus diselesaikan dengan sebijak mungkin, hm?" desaknya, nada suaranya sedikit lebih tegas, tapi dengan hati-hati. Ia mencoba mencari celah di balik kebisuan istrinya.

Seruni lagi-lagi hanya dapat terdiam mendengar itu dan mengutuk dalam hati. Pria itu mencoba menggunakan kata-kata Seruni untuk melawannya.

Seruni tetap bungkam. Ia merasa seperti ada ribuan kata yang terjebak di tenggorokannya, namun tidak satu pun berhasil keluar. Kenyataan bahwa dia sudah putus dengan Sai masih menghantuinya.

Tidak ada waktu yang tepat untuk memberitahu Tama—namun sebenarnya, bukan itu yang paling membuatnya gelisah. Yang lebih mengganggunya adalah perasaannya sendiri, yang semakin hari semakin mengarah pada Tama.

Seruni perlahan menggelengkan kepalanya lembut, mencoba untuk menepiskan pikiran-pikiran aneh yang mengisi kepalanya.

Tidak, ia tidak boleh secepat itu untuk jatuh kepada perangkap pria itu. Setidaknya, tidak sampai pria itu benar-benar pantas untuk mendapatkan cintanya.

Entah kapan pun itu. Atau mungkin tidak akan pernah.

Seruni yang terus diam membuat Tama semakin frustrasi. Perlahan, pikirannya mulai berpikir tentang Niranya. Apa ini ada kaitannya dengan wanita itu? Tapi Tama cepat-cepat menepis kemungkinan itu.

Selama ini, Seruni terlihat baik-baik saja. Seruni bahkan selalu bersikap profesional dan suportif, tak pernah memperlihatkan tanda-tanda kekhawatiran tentang kehadiran Niranya. Ide bahwa mereka dapat meneruskan hubungan dengan pasangan masing-masing pun awalnya dicetuskan oleh wanita itu sendiri.

Past, Present, and UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang