"Aku udah pulang," suara Tama bergema pelan saat ia membuka pintu, mengumumkan kepulangannya dengan lembut. Ia melangkah masuk, mengedarkan pandangan ke ruang tamu, mencari sosok istrinya dan sang ibu.Seingatnya, tadi siang ibunya sempat mengirim pesan bahwa beliau akan datang untuk mengunjungi Seruni dan Yohanes, bayi mereka yang baru lahir.
Langkah Tama terhenti sejenak ketika melihat pemandangan di ruang makan. Kartika duduk di salah satu kursi, tampak tenang sambil menggendong Yohanes dengan lembut di pelukannya. Wajah bayi yang mungil itu tertutup sebagian oleh selimut biru lembut, sementara tangan kecilnya menggenggam ujung baju neneknya.
Melihat pemandangan itu, hati Tama terasa hangat. Sebuah senyum terbit di wajahnya saat ia menghampiri ibunya dan ingin segera memeluk putranya yang tampak lelap.
Namun, ketika Tama mendekati ibunya, niatnya untuk mencium pipi Yohanes langsung terhenti oleh tangan Kartika yang terangkat. Memberi isyarat agar ia tidak terlalu dekat.
"Jangan, Tama. Kamu kan baru pulang dari luar, masih kotor," ujar ibunya lembut tapi tegas. "Ibu nggak mau nanti cucu Ibu ini kenapa-kenapa."
Tama terkekeh pelan, memaklumi kekhawatiran ibunya yang tak mau cucunya terkena debu atau kotoran dari luar. Ia mengangguk patuh sambil menghela napas pendek. Hanya dapat berdiri dengan kedua tangan di saku celana, menatap wajah tenang Yohanes dari kejauhan. "Ya sudah, Bu. Kalau gitu, Seruni di mana?"
"Oh, tadi Ibu suruh dia istirahat dulu di kamar. Kasihan, sejak tadi kelihatan capek banget," jawab Kartika sembari mengelus lembut kepala Yohanes.
Tama mengangguk paham. Ia tahu betul bagaimana Seruni begitu mencurahkan seluruh waktu dan tenaganya untuk merawat Yohanes sejak kelahirannya, bahkan hingga sering lupa mengurus dirinya sendiri. Dia juga mengerti betapa sulitnya menemukan waktu istirahat, terutama sejak menjadi orang tua.
Ia beranjak dari ruang tamu dan hendak melangkah menuju kamar. Namun, sebelum benar-benar beranjak, Kartika memanggilnya lagi dari belakang.
"Tam, ingat, ya. Jangan ganggu Seruni, biarin dia istirahat," pesan ibunya, mengingatkan sekali lagi.
Tama tersenyum sambil mengangguk, lalu dengan langkah yang pelan beranjak menuju lantai atas.
Setibanya di kamar, Tama membuka pintu perlahan, tak ingin mengganggu Seruni yang sedang beristirahat. Di dalam kamar, Tama mendapati Seruni yang terlelap di atas kasur dengan rambut yang diikat asal-asalan dan wajah yang terlihat lelah namun damai. Di sampingnya, ada selimut bayi yang masih dipegang erat, seolah meskipun tidur, pikirannya masih di sekitar Yohanes.
Tama kemudian duduk di sisi tempat tidur dan menatap Seruni beberapa saat. Lalu, dengan gerakan yang lembut, ia membetulkan posisi tidur Seruni agar lebih nyaman.
Perlahan, ia menarik ikat rambutnya, membiarkan helaian rambut Seruni tergerai dan lebih leluasa. Tama lalu mengambil selimut, berniat menutupinya agar hangat, tetapi tiba-tiba, mata Seruni terbuka perlahan, sepertinya menyadari kehadiran Tama di sisinya.
"Mas, kamu udah pulang?" tanya Seruni dengan suara seraknya.
"Iya, udah, sayang," Tama berbisik, sembari tersenyum hangat. "Tidur lagi aja, sayang. Tadi ibu bilang kamu baru tidur setengah jam yang lalu."
Seruni hanya mengangguk, namun dengan mata yang terbuka, ia masih terlihat ingin memastikan sesuatu. "Yohanes—dia di mana, Mas?"
"Lagi sama Ibu di ruang tamu. Tenang aja, aman kok," jawab Tama, menenangkan sambil melempar senyum.
Setelah memastikan semuanya baik-baik saja. Perlahan, Tama membuka beberapa kancing atas kemejanya, melipat lengan hingga siku, lalu berbaring di sampingnya. Ia merangkul Seruni, menempatkan tangannya di pundak istrinya, mengusap lembut rambut Seruni dengan gerakan perlahan
KAMU SEDANG MEMBACA
Past, Present, and Us
RomanceBagi Tama dan Seruni, pernikahan tak lebih dari tameng bagi mereka. Sebuah fasad yang dirancang dengan cermat untuk mempertahankan topeng yang melindungi kehormatan keluarga mereka. Di balik tirai gemerlap kehidupan sosial, mereka mencari pelipur l...