୨ৎ
Setelah Seruni selesai dengan segala pekerjaan rumah dan urusan yayasan, ia akhirnya bisa duduk dengan santai di ruang tamu. Tidak lama kemudian, telepon genggamnya berdering, menampilkan nama kakaknya, Mas Janitra, di layar.
Seruni dengan cepat mengangkat panggilan telepon tersebut. Berharap sang kakak membawa kabar baik untuk dirinya, terutama mengenai kabar sang ayah.
"Halo, Mas. Ada apa?" tanyanya, membuka percakapan dengan nada santai.
Janitra, di seberang sana, terdengar tersenyum sebelum menjawab. "Baik, nggak ada yang terlalu baru sih. Cuma sekarang lagi agak ribet sama urusan kantor. Kamu sendiri gimana?"
"Baik kok, Mas."
Setelah berbasa-basi sejenak, Seruni mengambil napas dalam-dalam. Sudah hampir 2 bulan sejak kejadian tidak mengenakan di Jogja dan ada sesuatu yang sudah lama ingin ia tanyakan.
Dengan hati-hati, ia mengeluarkan pertanyaan yang selama ini mengganjal di pikirannya, "Mas, apa kalian sudah bicara sama bapak? Apa bapak masih belum bisa maafin aku?"
Di seberang telepon, Janitra terdengar menarik napas panjang. "Kita sedang mencoba, Uni. Tapi kamu tahu kan, bapak itu orangnya keras. Apalagi soal ini," Ia terdiam sejenak, seperti mencari kata-kata yang pas. "Nggak mudah buat bapak."
Seruni menggigit bibirnya, matanya terpejam sesaat. "Aku ngerti, Mas. Aku cuma berharap bapak bisa dengar penjelasan dari aku dulu. Aku nggak pernah bermaksud ngerusak kepercayaan bapak."
"Aku tahu, Uni. Kita semua tahu. Tapi kamu juga tahu gimana Bapak. Ini akan butuh waktu."
Seruni hanya bisa mengangguk meski tahu Janitra tak bisa melihatnya. "Iya, Mas. Terima kasih udah coba membantu aku." Hatinya terasa semakin berat setelah percakapan itu, tapi ia tahu bahwa kakak-kakaknya juga berusaha sebaik mungkin.
Saat percakapan berakhir, Seruni meletakkan ponselnya di meja. Ia menatap kosong ke arah jendela, pikirannya melayang-layang. Meskipun dia tahu bahwa maaf dari Bapaknya tidak akan datang dengan mudah, mendengar kenyataan itu tetap menyakitkan.
Tiba-tiba, suara pintu depan yang terbuka membuyarkan lamunannya. Seruni menoleh dan melihat Tama masuk, diikuti oleh sosok yang sangat ia kenal—ibu mertuanya.
Kedatangan mereka yang tiba-tiba membuat Seruni buru-buru bangkit dari sofa, jantungnya sedikit berdegup kencang. Ruang tamu pun masih sedikit berantakan dengan beberapa dokumen yayasan berserakan di meja.
"Oh, Ibu," Seruni menyapa dengan senyum ramah, berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Sambil merapikan dokumen di meja, dia bertanya, "Tumben Ibu datang tanpa kabarin Seruni dulu. Ada apa?"
Tatapannya kemudian beralih pada Tama, sedikit memelototinya dengan isyarat tak bersuara, seolah bertanya, Kenapa kamu nggak bilang? Seruni merasa sedikit tidak nyaman karena masih mengenakan pakaian rumah yang sederhana. Tidak sempat berganti baju yang lebih sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Past, Present, and Us
RomanceBagi Tama dan Seruni, pernikahan tak lebih dari tameng bagi mereka. Sebuah fasad yang dirancang dengan cermat untuk mempertahankan topeng yang melindungi kehormatan keluarga mereka. Di balik tirai gemerlap kehidupan sosial, mereka mencari pelipur l...