37

3K 242 27
                                    

୨ৎ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

୨ৎ

Tama tiba di rumah ketika langit masih pekat, dan jam di tangannya menunjukkan pukul 4:30 pagi. Dia menutup pintu rumah dengan hati-hati, tidak ingin suara derit engsel berpotensi membangunkan Seruni.

Dengan langkah pelan, dia memasuki
kamar tidur yang hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari lampu tidur, menerangi Seruni, yang tertidur pulas di kasur.

Seruni terlihat berbaring tenang di atas kasur, wajahnya yang lelah tersapu bayangan lembut. Lampu kamar sudah mati, dan keheningan menyelimuti ruangan, hanya diselingi oleh suara napas Seruni yang teratur.

Tama berhenti sejenak di sisi tempat tidur, matanya tertuju pada istrinya. Wajah Seruni tampak damai, tetapi ada garis-garis kelelahan di sekitar matanya yang tidak bisa disembunyikan. Rambutnya terurai berantakan di atas bantal, dan selimut menutupi sebagian tubuhnya.

Dengan lembut, Tama mendekat dan mengecup puncak kepala Seruni. Ia merasa lega bisa melihatnya lagi setelah malam yang panjang. Baru saja hendak bangkit untuk mengganti bajunya, terdengar suara serak yang memecah keheningan.

"Kenapa baru pulang jam segini?"

Suara Seruni terdengar serak, masih berat karena kantuk, tetapi cukup untuk membuat Tama berhenti di tengah langkahnya. Seruni terbangun, matanya masih setengah terpejam, menatapnya dengan pandangan lelah.

Wanita itu baru bisa menutup matanya sekitar pukul 3 atau 4 pagi—hanya beberapa menit sebelum Tama pulang.

Tama tak langsung menjawab, tubuhnya kaku, seperti tertangkap basah di tengah sesuatu yang sulit dijelaskan. Matanya menghindari tatapan Seruni, sementara pikirannya berputar-putar mencari jawaban yang tepat. Namun, sebelum kata-kata itu sempat keluar dari mulutnya

"Kamu ketemu Niranya, ya?" tanyanya, nadanya datar tapi penuh tuduhan. Seruni sudah lebih dulu menebak.

Tama terdiam. Keheningan yang melingkupi kamar terasa lebih berat, menambah beban di antara mereka. Seruni menghela napas, bukan napas panjang yang menandakan kemarahan, melainkan napas pendek yang menandakan kekecewaan yang dalam.

"Setulus apapun cinta kamu ke aku," katanya, nadanya datar, namun ada kegetiran yang tak bisa disembunyikan, "Niranya selalu ada di pikiranmu. Dan itu nggak akan pernah berubah. It's always going to be her, isn't it?"

"Nggak, nggak gitu, Seruni," akhirnya Tama berhasil membuka mulut, suaranya penuh dengan nada memohon, mencoba meyakinkan. Ia mendekati tempat tidur dan duduk di tepi kasur, menatap wajah Seruni yang kini lebih jelas terlihat di bawah cahaya remang-remang. "Iya, aku ke tempat ke Niranya. Tapi aku ketemu Niranya karena dia nggak enak badan. Aku cuma nganterin dia ke rumah sakit. Itu aja."

Seruni tidak terlihat terkejut, tapi kecurigaan terpancar jelas dari sorot matanya. "Ke rumah sakit?"

Tama menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tahu ini akan menjadi momen yang sulit. "Dia hamil, Seruni."

Past, Present, and UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang