42

3.9K 271 9
                                    

୨ৎ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

୨ৎ

Ketika Tama akhirnya sampai di rumah sakit, kakinya melangkah dengan cepat menuju kamar inap Seruni. Setelah mendengar kabar mengenai Seruni yang hamil dan dirawat di rumah sakit, pikirannya masih berputar-putar tak menentu.

Begitu memasuki kamar inap Seruni, pandangannya langsung tertuju pada Kartika dan Seruni. Keduanya sedang berbincang pelan, namun begitu melihat Tama masuk, percakapan mereka terhenti. Kartika menoleh, matanya bertemu dengan mata Tama, dan tanpa perlu kata-kata, ia langsung mengerti bahwa mungkin Tama dan Seruni perlu waktu untuk berbicara sendiri.

"Kalau gitu ibu keluar dulu ya, biar kalian bisa ngobrol," ucap Kartika sambil tersenyum lembut. Ia berdiri dari kursinya, menyentuh lengan Seruni sejenak, lalu berjalan keluar ruangan dengan langkah yang tenang.

Begitu pintu kamar tertutup di belakangnya, suasana di dalam kamar mendadak terasa berbeda—hampa, canggung, dan penuh dengan hal-hal yang belum terucapkan.

Tama berdiri di ambang pintu sebentar, menatap Seruni yang terbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, meski ada senyum tipis yang coba ia paksakan. Dengan langkah pelan, ia mendekati ranjang Seruni, lalu duduk di kursi yang tadi diduduki oleh ibunya. Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar lembut, menambah kesunyian yang terasa mencekam di ruangan itu.

Tanpa berkata-kata, Tama mengulurkan tangannya, menyentuh tangan Seruni yang dingin. Dengan lembut, ia mengusap punggung tangan istrinya. Mereka terdiam untuk beberapa saat, seolah sedang menunggu siapa yang akan berbicara lebih dulu.

Akhirnya, Seruni menghela napas panjang dan berkata pelan dengan suaranya yang terdengar serak, "Maaf."

Tama menatap Seruni dengan bingung. "Maaf? Kenapa kamu meminta maaf, Seruni?" tanyanya lembut, alisnya sedikit berkerut. Ia tak mengerti kenapa Seruni tiba-tiba meminta maaf.

Seruni menundukkan pandangannya, matanya menghindari tatapan Tama. "Aku mau minta maaf karena nggak bilang soal ini lebih awal. Soal kehamilan aku."

Tama terdiam, mencoba mencerna kata-kata Seruni. "Kamu, sudah tahu sebelumnya?" tanyanya dengan nada pelan, namun terdengar jelas rasa terkejut dalam suaranya.

Seruni mengangguk pelan, wajahnya masih tertunduk. "Sebenarnya kemarin aku sudah tahu kalau aku hamil. Aku mau ngasih tahu kamu, tapi karena–" Seruni berhenti sejenak, menelan ludahnya sebelum melanjutkan, "karena Niranya datang, aku jadi nggak enak hati sama dia. Jadi, aku nggak jadi bilang ke kamu. Tapi jangan khawatir, tadi aku bilang ke Ibu kalau aku baru tahu hari ini, biar Ibu nggak tahu soal Niranya yang nginep di rumah."

Tama terdiam mendengar penjelasan Seruni. Seruni, yang seharusnya sudah memberitahu kabar bahagia tentang kehamilannya, malah menahan diri karena tidak ingin membuat situasi menjadi tidak nyaman. Dan sekarang, semuanya berakhir dengan Seruni di rumah sakit.

'Apa keputusannya untuk mengundang Niranya menginap semalam adalah keputusan yang buruk?' Ucap Tama dalam hati.

"Maaf, kalau kamu harus dengar kabar ini di kondisi seperti ini," lanjut Seruni dengan suara penuh penyesalan. "Aku nggak bermaksud ganggu rapatmu tadi."

Past, Present, and UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang