୨ৎ
"Jadi, temennya Tama kecelakaan apaan sih sampai dia harus bela-belain ke rumah sakit tengah malem kayak gini?" tanya Sai dengan nada penasaran, melirik sekilas ke arah Seruni yang duduk di sampingnya. "Maksudku, dia rela ninggalin kamu sendirian di rumah, padahal udah tahu kamu mau lahiran dalam waktu dekat."
Seruni, yang sejak tadi bergulat dengan rasa sakit yang makin menjadi-jadi, tidak bisa memikirkan jawaban yang panjang. "Temen deket—banget," gumamnya di antara napas pendek, tangannya mencengkeram sabuk pengaman di pangkuannya. "Aku juga nggak tahu bakal lahiran sekarang."
Sai mendengus kecil, terkekeh. "Nganterin mantan lahiran kayak gini—definitely wasn't in my bingo card, Ni." Ucapan Sai diikuti dengan tawa ringan, mencoba mencairkan suasana tegang di dalam mobil.
Seruni hanya menatap Sai dari sudut matanya, mencoba mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit yang menjalar. "Anggap aja latihan—kalau nanti kamu udah punya istri nanti," balasnya dengan suara yang lebih lemah.
Sai sebenarnya ingin membalas dengan lelucon ringan seperti biasanya, namun ketika ia melirik Seruni lagi dan melihat raut wajahnya yang benar-benar menahan sakit, lelucon itu tertahan di tenggorokannya. Wajah Seruni sudah pucat, bibirnya sedikit gemetar setiap kali kontraksi datang.
Menyadari situasi yang semakin serius, Sai menggenggam erat kemudi, mempercepat laju mobil tanpa banyak bicara lagi. Dia tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda. Kini satu-satunya yang ada di pikirannya sekarang adalah memastikan Seruni sampai di rumah sakit secepat mungkin.
***
Tama duduk termenung di lorong rumah sakit, kepalanya bersandar ke dinding dingin di belakangnya, sementara tangannya bergetar, mencoba menahan segala kekacauan dalam pikirannya. Cahaya putih redup dari lampu lorong yang tak begitu terang membuat suasana di sekelilingnya terasa suram, bahkan mencekam.
Tidak lama kemudian, ia bangkit dari tempat duduknya, merasakan tubuhnya yang kaku karena duduk terlalu lama. Berniat berjalan ke arah lain untuk mencari udara segar.
Namun, saat ia melangkah mendekati lift, pandangannya tertuju pada dua sosok yang membuatnya tersentak. Di depan lift yang hampir tertutup, ia melihat seseorang yang sangat mirip dengan Seruni duduk di kursi roda, ditemani oleh seorang pria yang sekilas tampak seperti Sai.
Seruni?
Dadanya mendadak berdegup kencang. Pikiran logisnya menolak untuk percaya, tapi intuisi yang lebih dalam mengatakan hal yang sebaliknya.
Tama memicingkan matanya, mencoba memastikan penglihatannya. Tanpa berpikir panjang, ia berlari menuju lift dengan langkah cepat, berharap masih bisa mengejar mereka. Namun, ketika ia sampai, pintu lift sudah tertutup dan mulai naik ke atas.
"Sialan," bisik Tama, frustrasi.
Dengan napas yang masih tersengal, ia segera menuju front desk rumah sakit. Matanya bertemu dengan perawat di balik meja, dan tanpa basa-basi, ia langsung menanyakan, "Maaf, barusan ada wanita hamil yang datang, duduk di kursi roda. Bisa saya tahu atas nama siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Past, Present, and Us
RomanceBagi Tama dan Seruni, pernikahan tak lebih dari tameng bagi mereka. Sebuah fasad yang dirancang dengan cermat untuk mempertahankan topeng yang melindungi kehormatan keluarga mereka. Di balik tirai gemerlap kehidupan sosial, mereka mencari pelipur l...