୨ৎ
Setelah perjalanan panjang dari Jakarta, mobil yang membawa Tama dan Seruni akhirnya melaju melewati gerbang rumah keluarga Seruni di Yogyakarta. Matahari mulai condong ke arah barat, mewarnai langit dengan semburat oranye lembut.
Seruni duduk di kursi penumpang, memandangi jalanan kota yang semakin padat menjelang sore. Namun, pikirannya tidak tertuju pada pemandangan di luar, melainkan pada pesan mendadak yang dikirim ayahnya pagi tadi. Pesan yang memintanya dan Tama untuk segera pulang ke Yogyakarta, tanpa penjelasan lebih lanjut.
"Mas," suara Seruni akhirnya memecah keheningan di dalam mobil. "Menurut kamu kenapa Bapak tiba-tiba banget nyuruh kita pulang?"
Tama menatap Seruni sejenak sebelum kembali fokus ke jalan di depan. "Nggak tahu juga. Jujur aku juga kaget waktu kamu bilang tadi pagi. Aku pikir pasti ada yang penting sih."
Seruni hanya mengangguk pelan, meski pikirannya terus menerawang, mencoba merangkai jawaban dari teka-teki yang belum jelas ini. Pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan, beberapa di antaranya cukup mengganggu.
"Mas, apa mungkin, Bapak lagi sakit parah?" Seruni menghela napas panjang, suaranya penuh dengan kecemasan. "Aku takut ini soal kesehatan Bapak. Mungkin dia nggak mau kasih tahu karena nggak mau kita panik."
Tama mendengar nada cemas itu dalam suaranya dan merasakan betapa berat pikiran Seruni. "Nggak usah nebak-nebak dulu. Kita lihat nanti, oke? Semoga aja Bapak sehat-sehat."
Seruni hanya diam, menatap keluar jendela sambil menggigit bibirnya pelan. Mobil mereka akhirnya berhenti di depan halaman rumah besar keluarganya. Rumah ini telah menjadi tempat yang familiar dan menenangkan, tapi kali ini, Seruni merasa ada yang berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal, dan perasaan itu membuat langkahnya menjadi sedikit berat saat dia keluar dari mobil.
Tanpa menunggu lebih lama, Seruni langsung berjalan cepat menuju pintu masuk rumah, dengan Tama yang mengikuti di belakang. Pintu rumah terbuka lebar, seperti biasanya, namun suasana di dalam tampak sangat tenang, tidak ada kesan mendesak atau khawatir yang dia harapkan.
Mereka disambut oleh seorang asisten rumah tangga yang segera membawa mereka masuk, tetapi Seruni langsung menuju halaman belakang, di mana ia tahu ayahnya sering menghabiskan waktu.
Ketika Seruni sampai di halaman belakang, betapa terkejutnya dia melihat ayahnya, Kuswan, yang tengah asyik merawat beberapa burung koleksinya. Ia tampak santai, mengenakan topi lusuhnya sambil menyemprotkan air dari botol kecil ke arah burung-burung di dalam sangkar. Kuswan tampak begitu tenang dan tidak memperlihatkan tanda-tanda kekhawatiran sedikit pun.
Seruni berhenti di pintu belakang, matanya melekat pada sosok ayahnya yang tampak begitu damai. Ia mengerutkan alis, kebingungan mulai menjalari dirinya. Semua kecemasan yang tadi memenuhi pikirannya tampak seolah tak beralasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Past, Present, and Us
عاطفيةBagi Tama dan Seruni, pernikahan tak lebih dari tameng bagi mereka. Sebuah fasad yang dirancang dengan cermat untuk mempertahankan topeng yang melindungi kehormatan keluarga mereka. Di balik tirai gemerlap kehidupan sosial, mereka mencari pelipur l...