୨ৎ
Masa-masa kuliah membawa kebebasan yang diam-diam dirayakan oleh Tama dan Niranya. Mereka berdua sudah menjalin hubungan sejak SMA, tapi saat memasuki dunia perkuliahan, mereka lebih berhati-hati. Setelah skandal besar yang melibatkan orang tua Niranya, hubungan mereka harus dijaga rapat-rapat, terutama dari keluarga besar Tama. Tetapi, meski dengan segala hambatan, mereka selalu menemukan cara untuk bertemu, meskipun dalam diam.
Sore itu, seperti biasa, Tama menjemput Niranya setelah kelas selesai. Mereka sudah terbiasa berkendara berkeliling Jakarta, melupakan dunia yang penuh dengan penilaian dari orang lain, dan hanya menikmati kebersamaan. Sesekali, mereka mampir ke kafe kecil yang sedang hits di kalangan anak muda, atau mencoba restoran baru yang sedang ramai dibicarakan.
Tapi hari itu, mereka memilih akhir yang berbeda untuk hari mereka. Tama ingin menikmati senja bersama Niranya, tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, di mana mereka bisa berbicara tanpa takut didengar siapa pun.
Setelah seharian berkeliling, Tama mengarahkan mobilnya ke sebuah gedung parkir tinggi di pinggiran kota. Gedung itu cukup sepi, hanya beberapa mobil yang terparkir, dan lantai teratas menawarkan pemandangan langit sore yang luar biasa. Ia memarkir mobil di pojok paling atas, di mana mereka bisa duduk tenang di dalam mobil dan menikmati matahari yang perlahan turun ke cakrawala.
"A good way to end the day, isn't it?" ucap Niranya, tersenyum sambil menatap langit jingga di depan mereka.
Tama mengarahkan tangannya untuk membuka sunroof mobil lalu tangannya perlahan menggenggam tangan gadis itu. Mereka duduk diam sejenak, membiarkan keheningan menyelimuti mereka, hanya ditemani oleh bunyi samar angin yang berdesir di luar jendela.
Sinar matahari yang semakin meredup menerpa wajah Niranya, memberikan bayangan lembut pada pipinya yang kemerahan. Ia tampak tenang, namun kemudian membuka suara dengan sebuah pertanyaan yang mengejutkan Tama.
"Res, menurut kamu kalau kita putus nanti, itu karena apa?" tanyanya dengan nada pelan, namun cukup jelas untuk membuat Tama langsung menoleh, bingung.
Tama, yang sedang menatap langit dengan pikiran ringan, langsung menoleh. Keningnya berkerut, tidak mengerti arah pembicaraan ini. "Putus?" gumamnya, bingung. "Kenapa tiba-tiba ngomongin itu?"
Niranya menarik napas dalam, seolah ragu untuk melanjutkan. "Ya, aku cuma penasaran aja. Kalau suatu saat kita putus—apa itu karena orang tua atau kakek-nenek kamu yang nggak setuju sama aku? Atau mungkin 5 tahun dari sekarang, justru kita ketemu sama orang baru?"
Tama menghela napas panjang, berusaha menahan rasa risih yang muncul di dalam dirinya. Ia tahu pembicaraan soal keluarganya dan penolakan mereka terhadap Niranya selalu menjadi momok yang membayangi hubungan mereka, tapi ia tidak pernah menyangka Niranya akan membahasnya saat itu juga.
Tama menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Ia menatap lurus ke depan, menimbang kata-katanya. "Kalau kita putus," Tama akhirnya membuka suara, suaranya lebih dalam dari biasanya, "itu karena kita udah benar-benar yakin ada alasan kuat yang buat kita harus berhenti. Bukan karena orang tua atau kakek-nenek aku nggak setuju."
KAMU SEDANG MEMBACA
Past, Present, and Us
RomanceBagi Tama dan Seruni, pernikahan tak lebih dari tameng bagi mereka. Sebuah fasad yang dirancang dengan cermat untuk mempertahankan topeng yang melindungi kehormatan keluarga mereka. Di balik tirai gemerlap kehidupan sosial, mereka mencari pelipur l...