25

3.3K 218 28
                                    

୨ৎ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

୨ৎ

Di tengah keheningan apartemennya, Seruni terduduk di sofa sambil memandang langit-langit apartemen. Mencoba mencari jawaban atas perasaannya yang berkecamuk beberapa hari belakangan ini.

Setelah putus dengan Sai, Seruni mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa seperti tidak ada yang berubah. Tapi di dalam dirinya, ada kekosongan yang terasa menggigit. Sedih? Tentu saja. Perpisahan itu masih terasa seperti luka baru.

Namun Seruni tahu bahwa dirinya tidak bisa terus-menerus meratapi perpisahan ini. Sai sudah membuat keputusan yang rasional, dan Seruni mengerti kekhawatiran pria itu. Hubungan mereka selama ini memang seperti berada di wilayah abu-abu.

Saat ini, yang bisa dilakukan Seruni adalah menerima kenyataan. Ia tahu tidak ada gunanya memohon atau merengek untuk meminta balikan. Apa yang dikatakan Sai benar; mereka tidak bisa terus-menerus berada dalam hubungan seperti ini, seakan-akan hidup di bawah bayang-bayang.

Bagaimanapun juga, dia sadar Sai hanya ingin melindungi dirinya sendiri, dan dalam hal ini, Seruni juga harus belajar untuk melepaskan.

Selain berpikir mengenai kandasnya hubungannya dengan Sai, ada satu hal lagi yang membuat Seruni merasa terjebak.

Ia tahu bahwa ia harus berbicara pada Tama tentang ini, memberitahunya bahwa ia dan Sai telah putus. Tapi bagaimana ia bisa melakukannya tanpa merusak hubungan Tama dengan Niranya? Seruni tahu betul, keputusan ini bukan hanya tentang dirinya dan Sai, tapi juga tentang Tama dan Niranya.

Sejak awal, mereka tidak pernah mengantisipasi bahwa mereka bisa putus dengan pasangan masing-masing. Sekarang, dengan perpisahan yang terjadi begitu dekat dengan pernikahannya dan Tama, Seruni merasa seperti berada di tengah lautan kebingungan. Apa yang ia alami bersama Sai mungkin akan membawa dampak yang tidak terduga pada Tama dan Niranya, dan itu adalah sesuatu yang ingin dihindarinya.

Dan kini Seruni tengah duduk di meja makan, memainkan garpu di tangannya sambil melamun. Pikirannya melayang-layang dalam ketidakpastian, bertanya-tanya apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Haruskah dia berbicara dengan Tama dan menjelaskan semuanya? Atau haruskah dia tetap diam dan membiarkan waktu yang berbicara? Bagaimana jika Tama menanggapinya dengan cara yang tidak diinginkan? Bagaimana jika kejujuran ini justru mengubah cara Tama memandangnya?

Pikirannya terus berputar-putar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak menemukan jawaban pasti.

"Seruni?"

Suara Tama membuyarkan lamunan Seruni. Ia menoleh, matanya beralih ke arah suaminya yang berdiri di ambang pintu dapur, masih mengenakan pakaian kerjanya. Ada garis kerut di antara alis Tama, menampilkan ekspresi heran di wajahnya.

Seruni menyadari bahwa ia begitu tenggelam dalam pikirannya sampai tidak menyadari bahwa Tama sudah pulang.

"Eh, Mas udah pulang?" tanya Seruni, mencoba menyingkirkan pikiran yang berkecamuk. "Kamu mau makan? Aku tadi masak pasta. Mau diangetin?"

Past, Present, and UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang