୨ৎ
Tama melangkah cepat di koridor rumah sakit, menuju parkiran setelah menjenguk salah satu kolega dekatnya yang sedang sakit. Matanya sesekali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
Ia tak sabar untuk segera bertemu dengan Seruni dan menghabiskan sisa waktu makan siang bersama istrinya. Suasana hening rumah sakit membawanya kembali pada kenyataan, dan Tama segera masuk ke dalam lift begitu pintu terbuka.
Saat pintu lift hampir menutup, langkah kaki yang tergesa terdengar, dan Tama tanpa sadar menahan pintu, membuat sosok yang baru saja masuk terjebak dalam kebingungan yang sama dengan dirinya. Niranya. Mereka berdua sama-sama terkejut, tidak menyangka akan bertemu di tempat seperti ini.
"Niranya?" Tama terdiam sejenak, menatap wanita itu yang kini berada tepat di sebelahnya. Sudah lama ia tak bertemu dengannya secara langsung. Terakhir kali mereka bertemu adalah pada malam ketika keduanya resmi mengakhiri hubungan.
Niranya mengangguk pelan, meskipun jelas tampak raut ketidaknyamanan di wajahnya. Dia melirik ke arah tombol lift, seolah berharap perjalanan mereka segera berakhir. Lift bergerak turun dengan lambat, meninggalkan kesunyian canggung di antara mereka.
Ketika lift hampir mencapai lantai yang mereka tuju, Tama akhirnya memecah keheningan. "Apa kamu barusan selesai menjenguk orang juga? Atau kamu lagi sakit?" tanyanya, nadanya sedikit khawatir, tapi lebih dipenuhi rasa penasaran.
Niranya, yang awalnya tampak ragu untuk menjawab, akhirnya tersenyum samar dan berkata, "Nggak kok. Aku cuma check up biasa aja."
Tama mengernyit. Jawaban itu terdengar tidak sepenuhnya jujur. "Check up? Tapi kamu sehat-sehat aja kan?" ulangnya dengan nada tak percaya.
Setelah mendapatkan anggukkan dari Niranya, Tama kembali bertanya. "Kamu datang ke sini naik apa?"
"Naik taksi," jawab Niranya singkat, seolah ingin mengakhiri percakapan itu dengan cepat. Matanya terus tertuju pada pintu lift yang sebentar lagi terbuka.
Begitu pintu lift terbuka, Niranya segera melangkah keluar, namun sebelum dia bisa pergi lebih jauh, seorang suster memanggilnya dari arah resepsionis. "Maaf, Bu Niranya! Foto USG-nya tadi ketinggalan!"
Tama terdiam sejenak, kebingungan melintas di wajahnya. "Foto USG?" gumamnya. Niranya terlihat tegang, tampak jelas bahwa dia tak ingin membahas lebih lanjut.
Tama segera menyusul langkah Niranya yang semakin cepat. "Check up apa, Niranya? Kenapa ada kamu perlu foto USG?"
Niranya berhenti sejenak, membelakangi Tama, terlihat jelas bahwa dia tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini. "Itu nggak penting, Nares. Aku nggak perlu jelasin apa-apa ke kamu."
Tentunya, itu bukanlah jawaban yang ingin Tama dengar. Ia menyusul Niranya yang sudah beranjak lebih dahulu lalu memegang lengan Niranya dengan lembut, menghentikan langkahnya. "Aku tahu kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi, tapi bukan berarti aku nggak bisa menjadi teman kamu, Niranya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Past, Present, and Us
RomanceBagi Tama dan Seruni, pernikahan tak lebih dari tameng bagi mereka. Sebuah fasad yang dirancang dengan cermat untuk mempertahankan topeng yang melindungi kehormatan keluarga mereka. Di balik tirai gemerlap kehidupan sosial, mereka mencari pelipur l...