୨ৎ
Seruni menatap layar ponselnya, membaca pesan dari Sai yang akhirnya mengkonfirmasi waktu untuk bertemu. Setelah beberapa minggu mereka hanya saling bertukar pesan singkat di tengah kesibukan masing-masing, akhirnya Sai memiliki waktu luang. Seruni menghela napas lega karena di tengah hiruk-pikuk kehidupannya, pertemuan dengan Sai adalah sesuatu yang selalu ia nantikan.
Dengan sedikit riasan di wajahnya dan rambut yang ia biarkan tergerai, Seruni berangkat menuju kafe kecil tempat mereka biasa bertemu. Kafe ini adalah tempat favorit mereka—tenang, dengan sudut-sudut nyaman yang terasa privat, di mana mereka bisa berbicara tanpa takut diinterupsi oleh siapa pun.
Begitu tiba, Seruni melihat Sai yang sudah menunggu di salah satu sudut kafe. Seperti biasa, Sai tersenyum lebar sembari melambaikan tangannya saat melihatnya. Ada rasa hangat yang langsung menyeruak di dada Seruni. Sai memang selalu bisa membuatnya merasa nyaman dengan cara pria itu sendiri.
Mereka saling menyapa dengan pelukan erat, dan Seruni langsung merasakan kehangatan dari pelukan Sai. Meskipun begitu, ada sesuatu dalam cara Sai memeluknya kali ini—sedikit lebih kuat, sedikit lebih lama—seperti ada sesuatu yang ingin pria itu ingin sampaikan tanpa kata.
"Aku kangen banget sama kamu," kata Sai sambil melepaskan pelukannya perlahan, masih dengan senyumnya yang hangat. "Maaf karena aku nggak bisa menyisihkan waktu untuk ketemu sama kamu."
Seruni tersenyum dan menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa. Aku ngerti kok, kamu lagi sibuk banget. Yang penting kita bisa ketemu sekarang, kan?"
Sai mengangguk, matanya menatap Seruni dengan lembut. Mereka duduk di salah satu sofa kafe yang sedikit tersembunyi, tempat favorit mereka untuk berbincang tanpa gangguan. Di antara obrolan ringan mengenai album baru Sai dan kabar-kabar terbaru, suasana terasa nyaman, namun ada bayangan kegelisahan yang samar di wajah Sai.
Ketika obrolan mulai lebih dalam, Sai tiba-tiba menarik Seruni ke dalam pelukan lagi, sesuatu yang sering mereka lakukan tanpa berpikir dua kali. Tapi kali ini, saat Seruni bersandar di dadanya, dia merasakan detak jantung Sai yang cepat dan napasnya yang berat, seakan ada sesuatu yang mengganjal.
Lama mereka berdiam dalam posisi itu, sebelum akhirnya Sai melepaskan pelukan dengan hati-hati. Raut wajah Sai berubah, terlihat lebih tegang. Seolah tidak ingin mengatakan kata-kata yang telah tertahan di ujung lidahnya. Seruni menatap Sai dengan kening yang berkerut sedikit, bingung dengan perubahan suasana.
"Kenapa? Is there anything wrong, Sai?" tanyanya pelan.
Sai menatap matanya dalam-dalam, seolah-olah mencari kata-kata yang tepat. "Aku—aku udah beberapa kali memikirkan ini, Seruni," katanya akhirnya, suaranya terdengar lebih berat. "Setelah lamaran kamu dan segalanya berubah, aku mulai sadar bahwa ada yang salah dengan semua ini. Aku sayang kamu, bahkan lebih dari itu, aku cinta sama kamu. Dan kamu tahu itu. Tapi aku ngerasa–aku nggak bisa lagi meneruskan hubungan ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Past, Present, and Us
RomanceBagi Tama dan Seruni, pernikahan tak lebih dari tameng bagi mereka. Sebuah fasad yang dirancang dengan cermat untuk mempertahankan topeng yang melindungi kehormatan keluarga mereka. Di balik tirai gemerlap kehidupan sosial, mereka mencari pelipur l...