Sebuah bencana gempa bumi besar di Bandung memisahkan Leandra dan Revano, sahabat yang dipertemukan takdir sejak kecil. Bersama Kai dan Diandra, mereka menjalani persahabatan yang murni dan polos, hingga perlahan mulai memahami arti cinta.
Bencana...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Nyala lampu tidur ruang tengahku di tengah gelap malam ini, apartemenku terasa lebih hangat dari biasanya. Meski hujan rintik-rintik turun membasahi jalanan di luar, membasahi ketakutan dan rasa khawatir manusia di siang hari lalu. Aku berbaring di sofa, menatap langit-langit dengan senyum tipis di bibir. Ulang tahunku kemarin terasa seperti mimpi. Di tengah dunia yang makin kacau, aku masih dikelilingi oleh orang-orang yang sayang padaku.
Revano duduk di sofa seberangku dekat jendela. Lucunya ia masih betah di apartemenku ini meski Kai sudah berusaha merayunya agar tidak tidur di apartemenku, namun bukan Revano namanya bila dia menurut pada keinginan orang lain. Tangannya memainkan bolpoin di atas jurnal kecil yang selalu dia bawa. Sesekali, matanya melirik ke arahku, tapi dia tidak mengatakan apa pun. Aku tahu persis dari matanya, bahwa dia pun merasakan ketegangan yang sama atas apa yang belakangan ini terjadi di sekeliling kami. Setelah sekian lama aku dan dia berpisah, kami akhirnya kembali bertemu di tengah situasi yang jauh dari kata ideal.
Adanya kecanggungan yang tidak terelakkan diantara kami sekarang, anak laki-laki yang lebih tua dariku ini ternyata telah tumbuh menjadi pria dewasa sekarang.
"Kamu nggak tidur?" tanyaku pelan.
Dia mengangkat kepalanya, senyum samar terlihat di wajahnya. "Nggak bisa. Banyak yang dipikirin."
Aku berguling ke sisi sofa dan bangkit duduk. "Tentang apa sih?"
Dia menutup jurnalnya, lalu bangkit dari sofa dan berjalan ke arahku dan duduk disampingku begitu dekat, "Tentang kita. Tentang besok. Tentang hari-hari yang bakal kita hadapi."
Aku menarik napas dalam, mengerti maksudnya. Kota ini sudah tidak aman lagi. Kerusuhan makin sering terjadi, dan sejak semalam, orang-orang mulai membakar kendaraan di jalanan. Markas kami di Cinere sudah siap ditinggali berkat pak Barli, dan kami memang berencana pindah ke sana secepatnya.
"Menurut kamu, aku bakal bertahan gak, Rev?" tanyaku padanya dengan tatapan kosong.
"Kamu ngomong apa sih, Lea. Bertahan maksudnya gimana? Ya jelas kamu bertahan sampai situasi dunia membaik. Kenapa mesti gak bertahan? Kalo ada hal yang bikin kamu gak bisa bertahan, aku yang akan jadi orang pertama bikin keajaiban supaya kamu bertahan" Tukasnya sambil menatapku tajam dengan suara yang lembut.
"Ya, aku takut sebenernya, Rev. Apa kita masih akan lengkap sampai nanti? Kamu, Aku, Kai, yang lain, mengingat banyak kayaknya yang meninggal. Aku sebenernya bukan takut diri aku sendiri, aku cuman iseng nanya kamu. Yang aku takut, aku kehilangan kalian di perjalanan" ucapku lemah sambil memandangi segelas air putih di atas meja dan masuk ke dalam dunia overthinking-ku.
Kami duduk bersebelahan di sofa yang sempit, hanya dipisahkan oleh jarak tipis yang semakin lama semakin terasa tak berarti. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri, berdentum cepat di dadaku.